Metode
Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama
(Upaya
Melestarikan Tradisi Salaf Saleh
Dan
Memperjelas Posisi Derajat Keilmuan kita)
Oleh:
Kholil Abu Fateh
Ugensi
Sanad
Sanad adalah
mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah
ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga
kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad
dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu
keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin
ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin
keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan
yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab
“kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang
hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan
ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai
perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan
ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi
yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama
menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh
Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh
Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak
kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari
kiamat[1].
Tentang
pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in, berkata:
إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ
دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)
“Sesungguhnya
ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian
mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah
kitab Shahîh-nya).
Imam ‘Abdullah
ibn al-Mubarak berkata:
الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ
شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah
bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan
berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].
Pentingnya
sanad tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits
saja, tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn
Sirin di atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi
beliau mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama.
Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn
al-Mubarak.
Tradisi
Mencari Sanad Aly
Sanad Aly
adalah sanad yang jumlah orang-orang terlibat dalam mata rantainya lebih
sedikit dan kesemua orang tersebut adalah orang-orang terpercaya (tsiqah).
Kebalikannya disebut Sanad Nazil; ialah bahwa orang-orang yang
terlibat dalam mata rantainya lebih banyak. Sanad Aly memiliki potensi
lebih kecil dari kemungkinan adanya kesalahan dalam mata rantai itu sendiri
atau dalam redaksi (informasi) yang dibawa oleh mata rantai tersebut. Sementara
Sanad Nazil sebaliknya, berpotensi mengandung kesalahan lebih besar.
Karena itu tradisi para ulama saleh dahulu adalah berusaha sekuat tenaga
mencari Sanad Aly. Lihat, sahabat dan murid-murid Abdullah ibn Umar
yang berada di Kufah mengadakan perjalanan yang cukup jauh dan menyulitkan
menuju Madinah hanya untuk mendengar dan belajar langsung kepada Umar ibn
al-Khattab; yang padahal materi-materinya telah disampaikan oleh Abdullah ibn
Umar. Tradisi mulia ini telah diceritakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:
طَلَبُ الإسْنَاد العَالِي سُنّة عَمّن سَلفَ، لأنّ أصْحَابَ
عبْدِ الله كانُوا يَرحَلوْنَ مِنَ الكُوفَة إلَى المَدينَةِ فَيَتَعَلّمُوْنَ
مِنْ عُمَرَ وَيَسْمَعُوْنَ مِنه
“Mencari sanad
aly adalah adalah tradisi dari para ulama salaf, karena para sahabat Abdullah
ibn Umar mengadakan perjalanan dari Kufah ke Madinah hanya untuk belajar dan
mendengar dari Umar”[3].
Imam Ahmad ibn Hanbal juga meriwayatkan bahwa Imam Yahya ibn Ma’in; salah seorang
Imam hadits terkemuka, di tengah sakit beliau menjelang wafatnya sempat
ditawarkan kepada apakah yang dia inginkan saat itu? Beliau menjawab:
بَيْتٌ خَالِي وَسَنَدٌ عَالِي
“Aku ingin rumah
sepi dan sanad aly”[4].
At-Talaqqi
Bi al Musyafahah
Sudah menjadi
kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan
membaca beberapa literatur agama, melainkan dengan belajar langsung (talaqqi)
kepada seorang alim yang terpercaya (tsiqah) yang pernah berguru
kepada seorang alim terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada
Sahabat Nabi. Al-Hafizh Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi berkata:
لا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلاّ مِنْ أفْوَاهِ الْعُلَمَاء
“Ilmu agama
tidak dapat diambil kecuali dari lisan Ulama”.
Sebagian ulama
Salaf mengatakan:
الّذِى يَأخُذُ الْحَديْثَ منَ الكُتب يُسَمّى صَحَفيّا
وَالّذى يأخُذُ القرآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ يُسَمّى مُصْحَفِيًّا وَلاَ يُسَمَّى
قَارِئًا
“Orang yang
mempelajari hadits dari kitab (tanpa guru) dinamakan shahafi (bukan Muhaddits),
sedangkan orang yang mempelajari al-Qur'an dari mushaf (tanpa guru) dinamakan mushafi,
tidak disebut qari’ ”.
Dan ini
sesungguhnya dipahami dari sabda Rasulullah:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بهِ خيرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْن إنّمَا
العلْمُ بالتّعَلّمِ وَالفقْهُ بالتّفقُّه رواه الطبراني
“Barang
siapa yang dikehendaki oleh Allah baginya suatu kebaikan, maka Allah
mudahkan baginya seorang guru yang mengajarinya Ilmu-Ilmu Agama, Sesungguhnya
ilmu agama (diperoleh) dengan cara belajar kepada seorang alim, begitu pula
fiqih". (HR. ath-Thabarani)
Metode At-Tahammul
Dalam Meraih Ilmu
Ada delapan
metode at-Tahammul dalam meraih ilmu. Ini tidak dikhususkan hanya
belaku dalam bidang hadits saja, tapi berlaku bagi berbagai disiplin ilmu
agama; fiqh, tafsir, tasawwuf, dan lainnya. Metode at-Tahammul ini
biasanya sering dibahas dalam bidang hadits saja adalah karena titik
konsentrasi hadits itu berupa kajian terhadap sanad dan matan. Dari segi matan
dituntut tidak ada perbedaan atau perubahan redaksi dari satu perawi kepada
perawi yang lainnya yang ada di bawahnya. Lalu dari segi sanad dituntut adanya
mata rantai yang berkesinambungan, lalu semua perawinya orang-orang terpercaya (tsiqah),
orang-orang adil, dan orang-orang kapabel (dlabith).
Delapan metode at-Tahammul
tersebut adalah dengan tingkatan tersusun demikian ini; (1) Mendengar lafazh
(pelajaran) syekh/guru (Sama’ Lafzh asy-Syaikh), (2) Membaca di
hadapan syekh (al-Qira’ah ‘Ala asy-Syaikh), (3) al-Ijazah,
(4) al-Munawalah, (5) al-Kitabah, (6) al-I’lam, (7) al-Washiyyah,
dan (8) al-Wijadah. Dengan demikian tingkatan yang
paling tinggi adalah Sama’ Lafzh asy-Syaikh[5].
Akibat
Tidak Memiliki Guru; Kasus Nyata
Imam Abu Hayyan
al-Andalusi; salah seorang Imam ahli Tafsir, penulis Tafsir al-Bahr
al-Muhith, dalam untaian bait-bait syair-nya menuliskan sebagai berikut:
يَظُنُّ الغُمْرُ أنّ الكُتْبَ تَهْدِيْ
# أخَا جَهْلٍ لإدْرَاكِ العُلُوْمِ
ومَا يَدْرِي الْجَهُوْلُ بأنّ فيْهَا
#
غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيْمِ
إذَا رُمْتَ الْعُلُوْمَ بِغَيْرِ
شَيْخٍ
# ضَلَلْتَ عَنِ الصّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَشْتَبِهُ الأمُوْرُ عَليكَ حَتّى
# تَصِيْرَ أضَلّ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْمِ
Orang lalai
mengira bahwa kitab-kitab dalapat memberikan petunjuk kepada orang bodoh untuk
meraih ilmu…”
Padahal orang
bodoh tidak tahu bahwa dalam kitab-kitab tersebut ada banyak
pemahaman-pemahaman sulit yang telah membingungkan orang yang pintar”.
Jika engkau
menginginkan (meraih) ilmu dengan tanpa guru maka engkau akan sesat dari jalam
yang lurus”.
Segala perkara
akan menjadi rancu atas dirimu, hingga engkau bisa jadi lebih sesat dari orang
yang bernama Tuma al-Hakim”[6].
Tuma al-Hakim adalah seorang yang tidak memiliki guru dalam memahami hadits.
Suatu hari ia mendapati hadits shahih, redaksi asli hadits tersebut adalah; “al-Habbah
as-Sawda’ Syifa’ Likulli Da’”. Namun Tuma al-Hakim mendapati huruf ba’
pada kata al-habbah dengan dua titik; menjadi ya’, karena
kemungkinan salah cetak atau lainnya, maka ia membacanya menjadi al-Hayyah
as-Sawda’. Tentu maknanya berubah total, semula makna yang benar adalah “Habbah
Sawda’ (jintan hitam) adalah obat dari segala penyakit”, berubah drastis
menjadi “Ular hitam adalah obat bagi segala penyakit”. Akhirnya, Tuma al-Hakim
mati karena “kebodohannya”, mati terkena bisa ular ganas yang ia anggapnya
sebagai obat.
Ijtihad
Dan Taqlid
Ijtihad
adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash
(teks) yang jelas. Teks yang jelas adalah yang tidak mengandung kecuali satu
makna saja. Maka Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang
yang memiliki keahlian dalam menggali hukum-hukum pada masalah-masalah yang
tidak terdapat nash (teks) yang jelas di dalamnya. Mujtahid
adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam
beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh
dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad
serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan
setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah
disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka,
karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma’ (konsensus
para ulama) para ulama sebelumnya. Lebih dari syarat-syarat tersebut ini, masih
ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu
kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah;
yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa
kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut
melebihi jumlah perbuatan baiknya. Sedangkan Muqallid (orang yang
melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang
belum sampai kepada derajat tersebut di atas. Dalil bahwa orang Islam terbagi
kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi:
نَضر اللهُ امْرأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا فأدّاهَا
كَمَا سَمِعَهَا ، فَرُبَّ حَامِل مُبَلّغ لا فِقْهَ عِنْدَهُ (رواه الترمذي وابن حبان)
“Allah
memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia
menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang
yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban)
Bukti terdapat
pada redaksi: “Fa Rubba Muballigh La Fiqha ‘Indahu”, artinya; “Betapa
banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. Dalam
riwayat lain: “Fa Rubba Muballagh Aw’a Min Sami’”, artinya; “Betapa
banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari
yang menyampaikan”.
Bagian dari
redaksi hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara
sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah ada yang hanya
meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang
dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan
mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath)
yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian
sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang
mendengar hadits darinya. Pada redaksi lain hadits ini: “Fa Rubba Hamil
Fiqh Ila Man Huwa Afqah Minhu”, artinya; “Betapa banyak orang
yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Mujtahid dengan
pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi:
إذَا اجْـتَهَدَ الْحَاكِمُ فأصَابَ فَلَهُ أجْرَانِ وَإذَا
اجْـتَهَدَ فأخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ (رواه البخاري)
“Apabila
seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila
salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR. al Bukhari)
Dalam hadits ini
disebutkan “Penguasa” (al-Hakim) secara khusus karena ia lebih
membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama
salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah
yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama
hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al-Hadits
menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh,
yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan
Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja
demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al
Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid)
adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada
mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan
ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad
yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang
pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja
tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman
atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang
budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab
mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”.
Akhirnya ia datang kepada Rasulullah bersama suami perempuan tadi dan
berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini,
lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas
anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar
seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku
bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah
dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku
pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al
walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan
hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari
kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.
Laki-laki
tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya
dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka
hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan
pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar
langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua
sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini
hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami
betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh
yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”.
Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat
(Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).
Senada dengan
hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki
yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia
bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab:
“Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika
Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya,
semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang
tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya!”. Dengan demikian obat
kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya
dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa
badannya". (HR. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa
seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya,
tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang
junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di
antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil
hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash
karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Maka berhati-hati dan
waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad,
padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan
ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama.
Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa
membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka
tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang
semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh.
Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.
Mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.
Mengapa
Harus Empat Madzhab?
Ibn Khaldun
dalam kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk hukum yang
berkembang dalam disiplin ilmu fiqih yang digali dari berbagai dalil-dalil
syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid
dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak
alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharîh,
maupun karena adanya perbedaan konteks. Demikian maka perbedaan pendapat dalam
produk hukum ini sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, setiap
produk hukum yang berbeda-beda ini selama dihasilkan dari tangan seorang ahli
ijtihad (Mujtahid Muthlak) maka semuanya dapat dijadikan sandaran dan
rujukan bagi siapapun yang tidak mencapai derajat mujtahid, dan dengan demikian
masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Bagi kita, para ahli
taqlîd; orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki
keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.
Dari sekian
banyak imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasil-hasil ijtihadnya
dan hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya terbatas kepada
Imam madzhab yang empat saja, yaitu; Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit
al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, Imam Malik ibn Anas (w 179
H) sebagai perintis madzhab Maliki, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204
H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w 241 H)
sebagai perintis madzhab Hanbali. Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang
empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki
otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya
secara sharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits
Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam
masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini
adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn) yang menjadi
rujukan utama dalam segala persoalan teologi. Demikian pula dalam masalah
hadits dengan segala aspeknya, mereka merupakan tumpuan dalam segala rincinan
dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhadditsûn). Lalu dalam masalah
tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh
al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama
mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah).
Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin ilmu agama
telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai karya tentang
biografi mereka.
Pada periode
Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah fiqih
sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi
fokus perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan
berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi
kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu
pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu
banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para
ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas. Dengan demikian
kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya
belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala
permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi
Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti
Imam Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar,
ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah,
juga Imam asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar,
perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para
Imam madzhab yang empat itu sendiri.
Allah
Dan Rasul-Nya "Menjamin" Kebenaran Ijtihad Para Imam Madzhab
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah beberapa perkara
atau peristiwa yang beliau ungkapkan dalam hadits-haditsnya, baik peristiwa
yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga
sebagaimana telah kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu
dari Allah, artinya segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan
semata-mata timbul dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى
(النجم: 3-4)
“Dan
tidaklah dia -Muhammad- berkata-kata dari hawa nafsunya, sesungguhnya tidak
lain kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS.
An-Najm: 3-4)
Di antara
pemberitaan Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau adalah sebuah
hadits yang beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang
seorang alim besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia,
beliau bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا قُرَيْشًا فَإنّ
عَالِمَهَا يَمْلَأُ طِبَاقَ الأرْضِ عِلْمًا
(رواه أحمد)
“Janganlah
kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan datang- seorang alim dari
keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi seluruh pelosok bumi” (HR. Ahmad).
Terkait dengan
sabda ini para ulama kemudian mencari siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah
dalam haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para
muridnya serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang;
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dari
keempat Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
hadits Rasulullah di atas adalah Imam asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang
berasal dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan
kenyataan bahwa madzhab Imam asy-Syafi’i telah benar-benar tersebar di berbagai
belahan dunia Islam hingga sekarang ini.
Dalam hadits
lain, Rasulullah bersabda:
يُوْشِكُ أنْ يَضْرِبَ النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ
يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ الْمَدِيْنَة (رواه أحمد)
“Hampir-hampir
seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta (artinya mengadakan perjalan
mencari seorang yang alim untuk belajar kepadanya), dan ternyata mereka tidak
mendapati seorangpun yang alim yang lebih alim dari orang alim yang berada di
Madinah”. (HR. Ahmad).
Para ulama
menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya ini tidak lain
adalah Imam Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru Imam asy-Syafi’i.
Itu karena hanya Imam Malik dari Imam madzhab yang empat yang menetap di
Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari dengan Imâm Dâr
al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau tentu tidak
disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang beliau rintis
hingga sekarang ini.
Tentang Imam Abu
Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama
menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah
haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَ الْعِلْمُ مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَنَالَهُ
رِجَالٌ مِنْ أبْنَاءِ فَارِسٍ (رَوَاهُ أحْمَدُ)
“Seandainya
ilmu itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan
diraih oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. Ahmad).
Sebagian ulama
menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah Imam Abu Hanifah,
oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari
daratan Persia. Imam Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang
sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir
ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas ibn Ziyad al-Bahili,
Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr
al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami.
Demikian pula
dengan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat
beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini
menunjukan bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh Imam Abu al-Hasan
sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi
Muhammad sebagai al-Firqah an-Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat
akan selamat kelak.
Imam
al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan
satu bab yang ia namakan: “Bab beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar
gembira dengan kedatangan Abu Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang
merupakan isyarat dari Rasulullah secara langsung akan kedudukan ilmu Abu
al-Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar gembira tentang kebenaran akidah Asy’ariyyah
ini tidak hanya dalam beberapa hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an.
Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira
dari Rasulullah langsung bagi orang-orang pengikut Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ
دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى
الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ (المائدة:
54)
Maknanya: “Wahai
sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai
Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin
dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan
Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS.
Al-Ma’idah: 54).
Dalam sebuah
hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya
sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka
(kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”. Dari hadits ini para ulama
menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum
Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Dalam penafsiran firman Allah di atas: “Maka Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai
Allah....” (QS. Al-Ma’idah: 54), Imam Mujahid berkata:
“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”. Kemudian al-Hâfizh Ibn
Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang
Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”[7].
Penafsiran ayat
di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum
Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli
hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang
sekelas Imam al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib
al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal
al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Imam Tajuddin
as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah
termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya,
maupun dalam hafalannya. Setelah Imam ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang
sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam
hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka
yang memusuhinya”[8].
Lebih dari pada
itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah
mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts)
sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli
hadits terkemuka Imam al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan
al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.
Al-Hâfizh
Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan Imam
al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari
Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu
al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu
Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada
kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa
ia (al-Bayhaqi) berkata:
“Sesungguhnya
sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka-
mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari,
bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54,
Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya
berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan
keutamaan dan derajat mulia bagi Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak
lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih
khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela
sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki
dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan
demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum
yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa
akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang
mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum
yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya
mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan
Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan
Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti
termasuk dari golongan mereka”[9].
Imam Tajuddin
as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan Imam
al-Bayhaqi di atas, berkata:
“Kita katakan;
-tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika
Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam
hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira
bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat
berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang
mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam
ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah.
Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya,
maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur:
40)”[10].
Slogan
“Pepesan Kosong”
Dewasa ini
timbul pendapat pada sebagian masyarakat kita mengatakan bahwa ilmu-ilmu dalam
Islam dapat dipelajari sendiri tanpa harus memiliki sanad. Ironisnya, kelompok
ini dalam praktek belajar ilmu-ilmu agama hanya terpaku kepada selebaran,
buletin, jurnal, browsing internet, secara virtual, dan
berbagai media elektronik lainnya. Betul, kita tindak mengingkari ada banyak
nilai-nilai positif dari media teknologi yang di manapun dan kapanpun dapat
kita “nikmati”, sebagaimana kita juga tidak bisa menutup mata dari sisi-sisi
negatifnya. Seharusnya, kita tetap memposisikan media teknologi informasi
tersebut murni sebagai pembawa “Informasi” yang sangat butuh kepada klarifikasi
(tabayyun), tidak menjadikannya guru utama (guru besar), atau menjadikannya
sebagai rujukan apapun dalam segala pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu agama. Kita
semua yakin bahwa media internet dengan segala konten di dalamnya mengandung
berbagai sisi baik, juga mengandung sisi buruk. Kalau boleh sedikit “kasar”,
penulis menyebutnya laksana tong sampah; di dalamnya apapun ada. Sesungguhnya,
seorang yang memiliki sanad maka berarti ia dapat mempertanggungjawabkan
kebenaran cara beragama yang dipraktekannya. Sikap apriori dari beberapa
kelompok masyarakat kita yang “anti” terhadap naskah-naskah klasik (Kitab
Kuning) tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu belaka dan karena
mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama
mereka.
Ada
pula sebagian orang pada masyarakat kita mengatakan bahwa mereka tidak butuh
kepada pendapat para ulama terdahulu dengan alasan bahwa mereka sendiri telah
dapat memahami teks-teks syari’at. Bahkan terkadang ungkapan mereka ini
diselingi dengan “caci maki” terhadap para imam madzhab empat, atau terhadap
para ulama terkemuka lainnya. Biasanya mereka membuat propaganda dengan
slogan-slogan “pepesan kosong”, seperti: “Kami tidak membutuhkan madzhab”,
atau: “Madzhab kami hanya al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “Nahnu
Rijâl Wa Hum Rijâl (Kita manusia dan mereka --para ulama-- juga manusia)”,
atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak mengambil dari
karya-karya para ulama (kitab kuning)”. Bahkan ada yang lebih parah dari itu
semua dengan mengatakan bahwa taqlid kepada para Imam madzhab adalah perbuatan
syirik. Na’udzu Billah. Perkataan orang-orang semacam ini justru
menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah.
Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut
dipertanyakan. Dari manakah mereka memahami teks-teks syari’at? Siapakah yang
telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Atau kita
mulai dengan pertanyaan sederhana ini; “Apakah mereka faham bahasa Arab?”,
“Apakah mereka hafal dan faham ayat-ayat dan hadits ahkam dengan
berbagai aspek di dalamnya; semisal ‘am khash, mutlaq muqayyad, nasikh
mansukh, sabab an-nuzul dan lainnya?”, “Tahukan mereka apa definisi istirkha’
dan istibra’? “Tahukan mereka perbedaan antara al-ku’ dan al-bu’?
Apakah mereka merasa lebih paham terhadap ajaran agama ini dibanding para
ulama? Sungguh penulis sangat “khawatir”, jangan-jangan mereka yang sangat anti
terhadap madzhab tidak mengetahui berapa rukun wudlu.
Wa Allah
A’lam Bi ash-Shawab.
Referensi
an-Nawawi, Yahya
ibn Syaraf (w 676 H) Taqrib at-Tahdzib, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Bairut, Lebanon
as-Suyuthi,
Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr (w 911 H), Tadrib ar-Rawi, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut
al-‘Iraqi,
Zaynuddin Abdurrahim ibn al-Husain al-‘Iraqi (w 806 H) at-Taqyid wa
al-Idlah Lima Ighliqa Min Muqaddimah Ibn ash-Shalah, Dar al-Kutub
ats-Tsaqafiyyah, Bairut, cet. 4, th. 1996-1316
Al-Ghumari, Abu
al-Fadl Abdullah ibn Muhammad al-Hasani, Ar-Rasa-il Al-Ghumariyyah, Taqdim
wa tahqiq Kamal Yusuf al-Hut, Dar al-Janan, cet. 1, 1991-1411
al-‘Iraqi,
Zaynuddin Abdurrahim ibn al-Husain al-‘Iraqi (w 806 H), Fath al-Mughits
Syarh Alfiyah al-Hadits, Dar al-Fikr, Bairut, cet. 1, th. 1995-1416
al-‘Asqalani,
Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Nuzhah an-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar, Dar
al-Fikr, Bairut,
Ibn Asakir, Abu
al-Qasim Ali ibn al-Hasan ibn Hibatillah (w 571 H) Tabyîn Kadzib al-Muftarî
Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari, Dar al-Fikr, Damaskus.
Ibn ash-Shalah,
Abu Amr Utsman ibn Abdirrahman (w 643 H) al-Muqaddimah, Dar al-Kutub
ats-Tsaqafiyyah, Bairut, cet. 4, th. 1996-1316
Subki, as,
Tajuddin Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, tahqîq Abd al-Fattah dan Mahmud
Muhammad ath-Thanahi, Bairut, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah.
__
Catatan Kaki __
[1] Penjelasan
ini diungkapkan dalam hampir seluruh kitab-kitab Musthalah al-Hadits,
lihat di antaranya; an-Nawawi (w 676 H) dalam at-Taqrib, j. 2, h. 94,
as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, j. 2, h. 93, Ibn ash-Shalah dalam al-Muqaddimah,
h. 239, al-‘Iraqi dalam at-Taqyid wa al-Idlah, h. 239, al-‘Iraqi dalam
Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, h. 308
[2] Ibn
ash-Shalah, al-Muqaddimah, h. 239
[3] as-Suyuthi, Tadrib
ar Rawi, j. 2, h. 95
[4] Ibn
ash-Shalah, al-Muqaddimah, h. 239
[5] Untuk
mengenal definisi masing-masing istilah ini silahkan merujuk kepada kitab-kitab
Musthalah, seperti an-Nawawi dengan at-Taqrib, as-Suyuthi dengan
Tadrib ar-Rawi, Ibn ash-Shalah dengan al-Muqaddimah, al-‘Iraqi
dengan at-Taqyid wa al-Idlah, dan Fath al-Mughits Syarh Alfiyah
al-Hadits, Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Nukhbah al-Fikar, serta
lainnya.
[6] Hasyiyah
Ibn Hamdun Syarh Bahriq Ala Lmiyah al-Af’al, h. 44
[7] Thabaqât
asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[8] Ibid.
[9] Tabyîn
Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh
Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[10] Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363
Posting Komentar