1. Hadits Nabi
Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ
أَنَسٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ فِي
النَّارِ، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
النَّارِ
Artinya: Menyampaikan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah,
menyampaikan kepada kami ‘Affan, menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah,
dari Tsabit, dari Anas: bahwasanya seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
dimanakah ayahku? Nabi Saw bersabda: Di dalam neraka. Ketika orang itu pergi,
Nabi memanggilnya kembali dan bersabda: Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada
di dalam neraka.
2. Hadits Nabi
Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي
أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ
قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin Kaisan dari Abu
Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di
sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon
izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan
oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan
oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian
akan kematian."
A. Jawaban untuk dalil pertama:
a. Kritik Sanad
Dalam sanad HR Imam Muslim (1) di atas terdapat rawi yang diperbincangkan
para ulama keadaannya, yakni Hammad bin Salamah.
Mengenai Hammad bin Salamah ini, para ulama terbagi menjadi dua kelompok
dalam hal ini :
1. Para ulama ahli hadits yang men-tsiqah-kannya
secara muthlaq, di antaranya: Ibnu Mahdi, Ibnu Mu’in dan Al-Ajli dan Ibnu
Hibban.
2. Para ulama ahli hadits yang membuat
perinciannya, antara lain: Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Ali bin Al-Madini,
Ahmad bin Hanbal, An-Nasai, Adz-Dzhabai, Ya’qub bin Syaibah, Abu Hathim dan
yang lainnya, termasuk Imam Muslim sendiri.
Imam Muslim berkata mengenai Hammad :
وحماد
يعدّ عندهم إذا حدّث عن غير ثابت؛ كحديثه عن قتادة، وأيوب، ويونس، وداود بن أبي
هند، والجريري، ويحيى بن سعيد، وعمرو بن دينار، وأشباههم فإنه يخطىء في حديثهم
كثيراً
“Dan Hammad dipermasalahkan menurut para ulama besar ahli hadits jika
meriwayatkannya dari selain Tsabit; seperti periwayatannya dari Qatadah, Ayyub,
Yunus, Dawud bin Abu Hindi, Aljariri, Yahya bin Sa’id, Amr bin Dinar dan
semisal mereka. Karena Hammad melakukan kesalahan yang banyak dalam hadits
periwayatan mereka.” (At-Tamyiz: 218)
Permasalahan: Para ulama ahli hadits sepakat,
bahwa ketika Hammad menginjak usia lanjut, hafalannya mengalami gangguan.
Bahkan dicurigai anak angkatnya melakukan penyisipan teks pada hadits-hadits
Hammad.
Imam al-Baihaqi berkata:
حماد
ساء حفظه في آخر عمره، فالحفاظ لا يحتجون بما يخالف فيه
“Hammad buruk hafalannya di akhir usianya, maka para ulama hadits tidak
menjadikan hujjah dengan hadits Hammad yang terdapat kontradiksi di dalamnya.” (Syarh
al-‘Ilal: 2/783)
Imam Abu Hathim berkata:
حماد ساء حفظه فى آخر عمره
“Hammad buruk hafalannya di usia lanjutnya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil:
9/66)
Imam Az-Zaila’i berkata:
لما
طعن فى السن ساء حفظه. فالاحتياط أن لا يُحتج به فيما يخالف الثقات
“Ketika Hammad berusia lanjut, hafalannya menjadi buruk, maka untuk lebih
hati-hatinya hendaknya tidak menjadikannya sebagai hujjah pada hadits-haditsnya
yang menyelisihi periwayat-periwayat tsiqah lainnya.” (Nashbu Ar-Rayah :
1/285)
Perbandingan dengan Riwayat Ma’mar
Jalur sanad Ma’mar dari Tsabit dari Anas, yang bunyinya:
اِنَّ
اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله، اَيْنَ اَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ. قَالَ
فَأَيْنَ اَبُوْكَ؟ قَالَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِكَافِرٍ، فَبَشِّّرْهُ بِالنَّارِ
Artinya: Sesungguhnya seorang A’rabi berkata kepada Rasulullah Saw: Di
mana ayahku? Rasulullah bersabda: Dia di neraka. A’rabi pun
bertanya kembali: Di mana
ayahmu? Rasulullah pun menjawab:
Sekiranya engkau melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar
gembira (padanya) dengan neraka.
Dalam sanad Ma’mar ini sama sekali
tidak disebutkan tentang ayah Nabi Saw. Di sisi lain sanad Ma’mar ini lebih
kuat (atsbat) daripada sanad
Hammad. Para ahli hadits mencatat bahwa Hammad bin Salamah ini
daya ingatnya dipertanyakan (diragukan) dan sebagian riwayatnya telah ditolak.
Ini terbukti Imam Bukhari sama sekali tak mengambil apa pun darinya, demikian
pula Imam Muslim dalam Ushul
(hadits-hadist yang berhubungan dengan prinsip-prinsip syariat), kecuali
melalui Tsabit. Dilihat dari segi apa pun, Ma’mar tidak bercacat. Hal itu lebih
dikuatkan lagi dengan sikap Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sama-sama
mengambil hadits darinya. Dengan demikian, riwayatnya jelas lebih dapat
dipercaya.
b. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah
adalah Hadits Ahad
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan
bahwa hadits Muslim dari jalur Hammad tersebut merupakan hadits Ahad
yang matruk ad-zhahir. Hadits Ahad jika bertentangan dengan nash
Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau kaidah-kaidah syariat yang telah
disepakati atau ijma’ yang kuat, maka zhahir hadits tersebut ditinggalkan dan
tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.
Imam Nawawi berkata:
ومتى
خالف خبر الاحاد نص القران او اجماعا وجب ترك ظاهره
“Kapan saja hadits Ahad bertentangan dengan nash ayat Quran atau ijma’,
maka wajib ditinggalkan zhahirnya.” (Syarh Al-Muhadzdzab, juz :4 hal :
342)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata:
قال الكرماني :
ليعلم انما هو اي - خبر الاحاد – في العمليات لا في الاعتقاد
“Imam al-Karamani berkata, “Ketahuilah sesungguhnya hadits Ahad hanya
boleh dibuat hujjah dalam hal amaliah bukan dalam hal aqidah.” (Fath Al-Bari
juz : 13 hal : 231)
Ibnu Taimiyyah berkata:
ان
هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين اللذي لا يصح لايمان الا به
“Sesungguhnya ini termasuk hadits ahad, bagaimana (mungkin) pondasi agama
yang merupakan standar keabsahan iman, bisa menjadi tsubut/tetap dengannya.” (Minhaj
As-Sunnah, juz 2 hal : 133)
Sementara hadits dengan kata-kata
yang serupa dengan riwayat Ma’mar muncul melalui jalur sanad yang lain.
Al-Bazzar, Thabrani, dan Baihaqi
mengutipnya dari Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Amir bin Sa’ad dari Sa’ad
bin Abi Waqqash. Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim.
Imam Ibnu Majah mengutip hal serupa
melalui sanad Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya.
Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dengan sanad yang shahih meriwayatkan hadits berikut:
Dari Luqait bin Amir, bahwa ia pergi ke Madinah bersama rombongan
yang di dalamnya terdapat Nuhaik bin ‘Ashim bin Malik bin Al-Muntafiq untuk
menemui Nabi Saw. Nuhaik bertanya: Adakah kebaikan di antara sebagian kami yang
hidup di zaman Jahiliyah? Nabi Saw bersabda: Ayahmu, Al-Muntafiq, berada di
dalam neraka. Nuhaik berkata: Aku merasakan kulit wajah dan dagingku
benar-benar terpisah ketika aku mendengar beliau berkata tentang ayahku di
hadapan banyak orang. Aku ingin berkata: Bagaimana dengan ayahmu sendiri, Ya
Rasul?, tetapi aku merasa lebih pantas untuk mengatakan yang lain: Bagaimana
tentang keluargamu, Ya Rasul? Nabi Saw menjawab: Jika engkau melihat makam
orang kafir, katakanlah: Muhammad mengutusku untuk mengatakan kepadamu tentang
api neraka.
Nah, ini semakin memperjelas bahwa
kalimat terakhir pada hadits melalui jalur Hammad bin Salamah itu diragukan,
karena banyak hadits lainnya dengan predikat shahih dengan nada yang sama, tidak mencantumkan seperti
apa yang ada pada jalur Hammad. Dengan demikian, zhahir hadits tersebut
mesti ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah atau ditakwil sehingga
memiliki keselarasan dengan dalil-dalil yang lebih kuat.
c. Kritik Matan
Dari segi matan, maka ungkapan إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِkontradiksi
dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan mutawatir. Selain bertentangan dengan
hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya (riwayat Ma’mar, Thabrani,
al-Bazzar, Baihaqi, Ibnu Majah dan al-Hakim), hadits tersebut juga bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengisyaratkan kesucian
nasab Rasulullah SAW yang insya Allah akan dipaparkan.
d. Komentar Imam
Nawawi
Saat mensyarah hadits tersebut, Imam Nawawi berkata:
وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ أَبِي
وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ
بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“Dan Nabi Saw: (Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka) ia
daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya)
dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
Keterangan:
Lalu kenapa Rasul juga mengatakan bahwa bapaknya berada di neraka?
Itulah wujud kebaikan hati Rasulullah SAW. Beliau tidak ingin si penanya
sedih dan kecewa dengan jawabannya. Terlebih si penanya adalah orang pelosok,
lemah iman, susah paham dan gampang kembali pada kemurtadan. Dikhawatirkan jika
tidak diberitahu dengan kalimat yang demikian, ia akan keluar dari Islam.
Karena terlalu sedih dan kecewa dengan agama barunya. Maka Rasul menyamarkan
jawabannya yang kedua dengan mengatakan bapaknya juga masuk dalam neraka.
Inilah yang dimaksud dengan tawriyah (menampakkan kalam namun
tidak sesuai dengan apa yang ada di hati). Agar jawaban menjadi kabur antara
bapak kandung dengan bapak dalam artian paman. Sebab orang Arab menyebut paman (‘ammu)
juga dengan bapak (abu). Itulah yang dimaksud Imam Nawawi dalam
kalamnya:
هُوَ
مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“…ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si
penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
e. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah tersebut
mengandung Ihtimal
Seandainya kata-kata “Ayahku dan
ayahmu di dalam neraka” dianggap shahih, tapi tetaplah ia mengandung ihtimal, yakni bahwa lafadz
Abi (ayahku) di situ bermakna ‘Amm (paman) dengan qarinah-qarinah yang ada.
Karena sudah maklum dan terkenal dalam bahasa Arab penamaan paman dengan ayah.
Yaitu ayah yang mengasuhnya.
Maka ayah yang dimaksud dalam hadits
tersebut adalah ayah asuh Rasulullah Saw yang tidak lain adalah pamannya, yaitu
Abu Thalib. Sebab Abu Thalib juga hidup saat Rasul Saw diangkat menjadi Rasul
dan beliau menolak permintaan Rasul Saw untuk bersyahadat.
Bahkan hal ini sudah masyhur di zaman Nabi Saw bahwa paman beliau Abu
Thalib dipanggil Ab (ayah) Nabi Saw oleh orang-orang. Disebutkan dalam beberapa
sirah Nabawiyyah:
كانوا
يقولون له قل لابنك يرجع عن شتم آلهتنا وقال لهم أبو طالب مرة لما قالوا له أعطنا
ابنك نقتله وخذ هذا الولد مكانه أعطيكم ابني تقتلونه وآخذ ابنكم أكفله لكم
“Orang-orang kafir berkata kepada Abu Thalib, “Katakan pada anakmu agar
tidak lagi mencaci tuhan-tuhan kami.” Dan suatu hari Abu Thalib berkata pada
mereka pada apa yang mereka katakan padanya, “Berikan anakmu pada kami agar
kami membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai gantinya, maka (akankah) aku
berikan anakku untuk kalian bunuh dan aku mengambil anak kalian untuk
kupelihara.”
Bahkan sebagian
mufassirin berkata dalam ayat:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ
آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ
مُبِينٍ
“Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar,
“Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya
Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-An’am: 74)
Bahwa yang dmaksud abihi (ayahnya) Nabi Ibrahim yang bernama Aazar adalah
pamannya, bukan ayahnya.
Imam Mujahid
berkata: ليس آزر أبا إبراهيم
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim As.” (Atsar ini telah ditakhrij oleh
Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hathim dengan sebagian jalan
yang shahih)
Ibnu Al-Mundzir telah mentakhrij dengan sanad yang shahih dari Ibnu
Juraij tentang firman Allah Swt :
(وإذ قال إبراهيم لأبيه آزر)
Maka beliau berkomentar:
ليس آزر بابيه إنما هو إبراهيم بن تيرح أو
تارح بن شاروخ بن ناحور بن فالخ
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, sesungguhnya dia adalah Ibrahim bin
Tirah atau Tarih bin Syarukh bin Nakhur bin Falikh.”
Ibnu Abi Hatim mentakhrij dengan sanad yang shahih dari As-Sadi
bahwa beliau ditanya, “(Apakah) ayah Nabi Ibrahim itu Azar?” Maka beliau
menjawab, “Bukan tapi Tarih.”
Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzhi bahwasanya beliau berkata, “Terkadang
paman dari jalur ayah atau jalur ibu disebut ayah.”
Imam Fakhru Ar-Razi berkata :
إن
آزر لم يكن والد إبراهيم بل كان عمه
“Sesungguhnya Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, akan tetapi pamannya.”
Bukti lainnya:
Ibnu Abi Hatim mentakhrij hadits dengan sanad yang shahih dari
Ibnu Abbas ra beliau berkata:
قال
ما زال إبراهيم يستغفر لأبيه حتى مات فلما مات تبين له أنه عدو لله فلم يستغفر له
“Nabi Ibrahim senantiasa beristighfar, memohon ampun untuk ayahnya hingga
wafat, maka ketika ayahnya wafat, nyatalah baginya bahwa ayahnya adalah musuh
Allah, sejak itu nabi Ibrahim tidak beristighfar untuknya lagi.”
Ibnu Al-Mundzir dalam kitab tafsirnya membawakan sebuah hadits dengan
sanad yang shahih bahwa:
“Ketika orang-orang kafir mengumpulkan kayu bakar dan melemparkan Nabi
Ibrahim ke dalamnya dengan api yang membara, maka berucaplah Nabi Ibrahim, “Cukuplah
Allah sebagai penolongku.” Dan Allah berfirman, “Wahai api jadilah sejuk dan
keselamatan bagi Ibrahim.” Maka berkatalah paman Nabi Ibrahim, “Karenaku
Ibrahim tidak terbakar.” Maka ketika itu Allah mengirim secercik api yang jatuh
ke telapak kakinya dan membakarnya hingga tewas.
Keterangan:
Nabi Ibrahim dilarang Allah mengistighfari ayahnya. Kemudian beliau diuji
Allah dengan peristiwa pembakarannya. Dan saat itu pula pamannya ikut terbakar.
Namun setelah perisiwa itu berlalu, dan Nabi Ibrahim berhijrah ke
beberapa daerah hingga beliau meninggalkan istri dan anaknya di Makkah, beliau memohonkan
ampun untuk orangtuanya, sebagaimana doa yang diabadikan dalam al-Quran surat
Ibrahim: 41:
ربنا
اغفر لي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب
“Wahai Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan bagi
orang-orang mukmin di hari berdirinya hisab.”
Di atas cukup jelas, bahwa beliau
selalu mengistighfari ayahnya hingga beliau tahu ayahnya tersebut adalah musuh
Allah dengan terbakarnya di hari ujian Nabi Ibrahim tersebut dengan pembakaran.
Dan beliau pun berhenti mengistighfarinya.
Namun setelah itu kenapa beliau masih tetap mengistighfarinya sebagaimana
ayat di atas ?
Jawabannya tidak ada lain bahwa yang dimaksud ayah dalam hadits di atas
adalah paman Nabi Ibrahim dan telah dikuatkan dengan hadits shahih yang
telah dibawakan Imam Ibnu Al-Mundziri dalam tafsirnya di atas.
Dan terbukti beliau masih mengistighfari ayah kandungnya Tarih setelah
kejadian pembakaran tersebut.
Maka dengan qarinah-qarinah ini semakin jelas bahwa yang dimaksud ayahku
dalam hadits Muslim tersebut adalah ayah asuh Nabi Muhammad Saw yaitu paman
beliau Saw Abu Thalib bukan ayah kandunganya Abdullah.
B. Jawaban untuk
dalil kedua
Hadits kedua yang menyatakan bahwa
Nabi Saw tidak diizinkan untuk berdoa di makam ibunya, (meski hadits itu
shahih), haruslah dijelaskan dengan benar. Kaidah Ushul menyatakan bahwa jika dalil yang kuat bertentangan
dengan hadits shahih, maka hadits tersebut harus ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga menghilangkan pertentangan itu.
Ada banyak dalil yang menjelaskan bahwa Nabi Saw
tidaklah lahir dari rahim seorang perempuan yang layak masuk neraka:
Ali bin Abu Thalib ra meriwayatkan
bahwa Nabi Saw bersabda: Aku lahir dari pernikahan dan tak pernah lahir dari
perzinaan, dari Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan aku. Perzinaan dan
menyentuh diriku sekalipun pada zaman Jahiliyah. (HR Baihaqi, Abu
Nu’aim, Ibnu Katsir, Ibnu Sa’ad, Thabrani, Al-Haitsami, Al-Hakim, dan
lain-lain).
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi
Saw bersabda: Kakek buyutku dan nenek buyutku tak pernah berkumpul kecuali
dalam perkawinan yang sah. Allah senantiasa memeliharaku dari tulang sulbi yang
baik ke alam rahim yang suci, dan garis itu tak pernah bercabang kecuali aku
berada di dalam dua cabang yang terbaik. (Lihat: Tarikh (1:349) karya
Ibnu Asyakir, Ad-Durul Mantsur (3: 294 dan 5::98) karya As-Suyuthi, dan
Al-Wafa’ (Bagian Pertama, Bab 10) karya Ibnul Jauzi).
Hadits Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ مِنْ خَيْرِ
قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا حَتَّى كُنْتُ مِنْ الْقَرْنِ الَّذِي
كُنْتُ فِيهِ
“Aku diutus dari sebaik-baik anak Adam, keturunan demi keturunan,
hingga aku berada di dalam keturunan yang kemudian melahirkan aku.” (HR Imam Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَتَقَلُّبك فِي السَّاجِدِينَ
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang
musyrik itu adalah najis… (QS. At-Taubah: 28).
Pada ayat tersebut Allah
telah menjelaskan bahwa syirik seperti yang telah dilakukan oleh
orang-orang kafir adalah najis (najasa). Namun, semua hadist yang telah
ditunjukkan sebelumnya menegaskan kesucian tulang sulbi dan rahim yang
mengandung jiwa Nabi sejak penciptaan hingga lahir. Oleh karena itu, kedua
orangtua Nabi tidaklah mungkin orang kafir.
Lalu, bagaimana seharusnya hadist shahih tersebut dipahami?
Keterangan Imam Suyuthi dalam kitab At-Ta’zhim wal Minnah fi anna
Abaway Rasulillah fil Jannah hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo:
“Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir
berdasarkan dalil bahwasanya Nabi SAW juga ketika di awal-awal Islam dilarang
untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi
belum dilunasi, karena istighfar Nabi SAW akan dijawab Allah dengan segera, maka
siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat
yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya
sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap
mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka
seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi
seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari
surga di dalam barzakh karena ada sesuatu yang lain di luar kufur.” (At-Ta’zhim wal
Minnah Suyuthi hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo)
Keterangan
Al-Allamah al-Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim pimpinan Tariqat Syadziliyah
Asyirah Muhammadiyah di Mesir dalam kitab ‘Ismatun Nabi, hal.96 Cet.
Rasa’il Asyirah:
“Bahwasanya istighfar adalah bagian dari penghapusan dosa, maka seseorang
tidak akan berdosa selama dakwah Islam belum sampai kepadanya. Maka tidak
perlulah Rasulullah SAW memintakan ampun untuk orang yang belum terhitung telah
melakukan dosa dan Allah pun juga tak akan mengiqobnya sebagai dosa. Maka
memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal yang sia-sia, dan bukanlah
daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang sia-sia.
“Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya
termasuk ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan
lainnya dari Rasulullah SAW: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun
ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.”
Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu
Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha:
في
قوله : { ولسوف يعطيك ربك فترضى } قال : من رضا محمد صلى الله عليه وسلم ألا يدخل
أحد من أهل بيته النار
“Dan dari keridhaan Muhammad, tidak ada satu pun dari ahlul bait beliau
yang masuk ke dalam neraka.”
Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga
merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah SAW disucikan
Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.
Keterangan Syekh
Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Kifayatul 'Awam hal. 13, cetakan Dar Ihya
al-Kutubil 'Arobiyah:
Jika anda sudah tahu bahwa Ahlul Fathroh (masa kevakuman atau kekosongan
Nabi dan Rasul) itu termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka) berdasarkan
pendapat ulama yang kuat, maka tahulah anda bahwa bahwa kedua orangtua Nabi
Muhammad SAW adalah orang-orang yang selamat juga (dari neraka). Karena, mereka
berdua termasuk Ahlul Fathroh (termasuk juga kakek, buyut Nabi dan ke atasnya).
Bahkan mereka berdua termasuk Ahlul Islam, karena Allah telah menghidupkan
mereka berdua untuk Nabi Muhammad SAW sebagai pengagungan kepadanya. Kemudian
berimanlah kedua orangtua Nabi itu kepadanya sesudah kebangkitannya menjadi
rasul.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari
Aisyah bahwa Rasulullah SAW memohon kepada Tuhan-Nya agar Dia menghidupkan
kedua orangtuanya. Maka Allah pun menghidupkan kedua orangtua Nabi itu.
Selanjutnya, keduanya beriman dengan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Allah
mematikan keduanya kembali.
Berkata Suhaili: “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bisa saja
Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan apa-apa yang Dia kehendaki dari sebab
karunia-Nya dan memberi nikmat kepada Nabi-Nya dengan apa-apa yang dia
kehendaki dari sebab kemuliaan-Nya.”
Tidak Ada
Dalil dan Bukti yang Menunjukkan Bahwa Orangtua Nabi Musyrik
Kemusyrikan kedua orangtua Nabi Saw bukanlah kenyataan yang telah dapat
dipastikan. Justru yang menjadi kemungkinan besar adalah bahwa mereka menganut
Agama Suci (Hanifiyyah) leluhur mereka, Ibrahim As. Sekelompok orang
Arab pun melakukan hal itu, misalnya, ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal dan
sebagainya.
Hal lain yang tak bisa dibantah adalah kedua orangtua Nabi Saw wafat
sebelum ia diangkat menjadi Nabi. Artinya, keduanya wafat pada masa fatrah,
yakni masa sebelum kedatangan rasul. Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak
sampai kepada mereka dakwah. Para imam mazhab Asy’ari
dalam kalam, ushul, dan fiqh Syafi’i bersepakat menyatakan bahwa
orang yang meninggal sebelum menerima dakwah, dia akan masuk surga.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث
رَسُولًا
Artinya: Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka
disebabkan apa yang mereka kerjakan: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak
mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan
jadilah kami termasuk orang-orang mukmin." (QS. Al-Qashash: 47). (HR
Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan masa wafat kedua orangtua Nabi ini pun kita bisa simpulkan
bahwa mereka tidak layak dituduh sebagai orang musyrik yang masuk neraka dan
kekal di dalamnya.
Selain itu, nama ayah Nabi, Abdullah (hamba Allah) dan nama ibu beliau,
Aminah (wanita yang amanah) telah mengisyaratkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang menghambakan diri kepada Allah Ta’ala.
Penutup
Jumhur ulama bersepakat untuk menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi Saw
berada di dalam surga, dan bukan masuk ke dalam neraka sebagaimana yang getol
didengungkan oleh kaum Salafi/Wahabi.
Cukuplah keterangan berikut ini sebagai peringatan bagi kita:
Telah berkata sebagian ulama: "Telah ditanya Qodhi
Abu Bakar bin 'Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang
laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau
menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ
وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ
عَذَابًا مُهِينًا
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi
mereka itu adzab yang menghinakan". (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan
bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir
dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika kepada
beliau dikatakan: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka”, maka berdirilah
Rasulullah SAW dalam keadaan marah, kemudian berkata:
ما
بال أ قوام يؤذونني فى قرابتي و من أذاني فقد أذى الله
Artinya:
"Bagaimana
keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti
aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah".
Posting Komentar