Sanggahan terhadap Pendapat yang Mengatakan Orangtua Nabi Saw Musyrik dan Berada di Neraka

Jumat, 06 September 20130 komentar

Dalil Kaum Yang Memvonis Orangtua Nabi Musyrik ada 2:
1. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
‏‏‏‏حَدَّثَنَا ‏أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ‏حَدَّثَنَا ‏عَفَّانُ، ‏حَدَّثَنَا ‏حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، ‏‏عَنْ ‏ثَابِتٍ، ‏ ‏عَنْ ‏أَنَسٍ: ‏‏أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ، فَلَمَّا ‏‏قَفَّى ‏دَعَاهُ، فَقَالَ: ‏إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ ‏
Artinya: Menyampaikan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, menyampaikan kepada kami ‘Affan, menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas: bahwasanya seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, dimanakah ayahku? Nabi Saw bersabda: Di dalam neraka. Ketika orang itu pergi, Nabi memanggilnya kembali dan bersabda: Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.
2. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian."
A. Jawaban untuk dalil pertama:
a. Kritik Sanad
Dalam sanad HR Imam Muslim (1) di atas terdapat rawi yang diperbincangkan para ulama keadaannya, yakni Hammad bin Salamah.
Mengenai Hammad bin Salamah ini, para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam hal ini :
1. Para ulama ahli hadits yang men-tsiqah-kannya secara muthlaq, di antaranya: Ibnu Mahdi, Ibnu Mu’in dan Al-Ajli dan Ibnu Hibban.
2. Para ulama ahli hadits yang membuat perinciannya, antara lain: Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, An-Nasai, Adz-Dzhabai, Ya’qub bin Syaibah, Abu Hathim dan yang lainnya, termasuk Imam Muslim sendiri.
Imam Muslim berkata mengenai Hammad :
وحماد يعدّ عندهم إذا حدّث عن غير ثابت؛ كحديثه عن قتادة، وأيوب، ويونس، وداود بن أبي هند، والجريري، ويحيى بن سعيد، وعمرو بن دينار، وأشباههم فإنه يخطىء في حديثهم كثيراً
“Dan Hammad dipermasalahkan menurut para ulama besar ahli hadits jika meriwayatkannya dari selain Tsabit; seperti periwayatannya dari Qatadah, Ayyub, Yunus, Dawud bin Abu Hindi, Aljariri, Yahya bin Sa’id, Amr bin Dinar dan semisal mereka. Karena Hammad melakukan kesalahan yang banyak dalam hadits periwayatan mereka.” (At-Tamyiz: 218)
Permasalahan: Para ulama ahli hadits sepakat, bahwa ketika Hammad menginjak usia lanjut, hafalannya mengalami gangguan. Bahkan dicurigai anak angkatnya melakukan penyisipan teks pada hadits-hadits Hammad.
Imam al-Baihaqi berkata:
حماد ساء حفظه في آخر عمره، فالحفاظ لا يحتجون بما يخالف فيه
“Hammad buruk hafalannya di akhir usianya, maka para ulama hadits tidak menjadikan hujjah dengan hadits Hammad yang terdapat kontradiksi di dalamnya.” (Syarh al-‘Ilal: 2/783)
Imam Abu Hathim berkata:
حماد ساء حفظه فى آخر عمره
“Hammad buruk hafalannya di usia lanjutnya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil: 9/66)
Imam Az-Zaila’i berkata:
لما طعن فى السن ساء حفظه. فالاحتياط أن لا يُحتج به فيما يخالف الثقات
“Ketika Hammad berusia lanjut, hafalannya menjadi buruk, maka untuk lebih hati-hatinya hendaknya tidak menjadikannya sebagai hujjah pada hadits-haditsnya yang menyelisihi periwayat-periwayat tsiqah lainnya.” (Nashbu Ar-Rayah : 1/285)
Perbandingan dengan Riwayat Ma’mar
Jalur sanad Ma’mar dari Tsabit dari Anas, yang bunyinya:
اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله، اَيْنَ اَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ. قَالَ فَأَيْنَ اَبُوْكَ؟ قَالَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِكَافِرٍ، فَبَشِّّرْهُ  بِالنَّارِ
Artinya: Sesungguhnya seorang A’rabi berkata kepada Rasulullah Saw: Di mana ayahku? Rasulullah bersabda: Dia di neraka. A’rabi pun bertanya kembali: Di mana ayahmu? Rasulullah pun menjawab: Sekiranya engkau melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira (padanya) dengan neraka.
Dalam sanad Ma’mar ini sama sekali tidak disebutkan tentang ayah Nabi Saw. Di sisi lain sanad Ma’mar ini lebih kuat (atsbat) daripada sanad Hammad. Para ahli hadits mencatat bahwa Hammad bin Salamah ini daya ingatnya dipertanyakan (diragukan) dan sebagian riwayatnya telah ditolak. Ini terbukti Imam Bukhari sama sekali tak mengambil apa pun darinya, demikian pula Imam Muslim dalam Ushul (hadits-hadist yang berhubungan dengan prinsip-prinsip syariat), kecuali melalui Tsabit. Dilihat dari segi apa pun, Ma’mar tidak bercacat. Hal itu lebih dikuatkan lagi dengan sikap Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sama-sama mengambil hadits darinya. Dengan demikian, riwayatnya jelas lebih dapat dipercaya.
b. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah adalah Hadits Ahad
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa hadits Muslim dari jalur Hammad tersebut merupakan hadits Ahad yang matruk ad-zhahir. Hadits Ahad jika bertentangan dengan nash Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau kaidah-kaidah syariat yang telah disepakati atau ijma’ yang kuat, maka zhahir hadits tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.
Imam Nawawi berkata:
ومتى خالف خبر الاحاد نص القران او اجماعا وجب ترك ظاهره
“Kapan saja hadits Ahad bertentangan dengan nash ayat Quran atau ijma’, maka wajib ditinggalkan zhahirnya.” (Syarh Al-Muhadzdzab, juz :4 hal : 342)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata:
قال الكرماني : ليعلم انما هو اي - خبر الاحاد – في العمليات لا في الاعتقاد
“Imam al-Karamani berkata, “Ketahuilah sesungguhnya hadits Ahad hanya boleh dibuat hujjah dalam hal amaliah bukan dalam hal aqidah.” (Fath Al-Bari juz : 13 hal : 231)
Ibnu Taimiyyah berkata:
ان هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين اللذي لا يصح لايمان الا به
“Sesungguhnya ini termasuk hadits ahad, bagaimana (mungkin) pondasi agama yang merupakan standar keabsahan iman, bisa menjadi tsubut/tetap dengannya.” (Minhaj As-Sunnah, juz 2 hal : 133)
Sementara hadits dengan kata-kata yang serupa dengan riwayat Ma’mar muncul melalui jalur sanad yang lain.
Al-Bazzar, Thabrani, dan Baihaqi mengutipnya dari Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Amir bin Sa’ad dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim.
Imam Ibnu Majah mengutip hal serupa melalui sanad Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari  Salim dari ayahnya.
Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dengan sanad yang shahih meriwayatkan hadits berikut:
Dari Luqait bin Amir, bahwa ia pergi ke Madinah bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Nuhaik bin ‘Ashim bin Malik bin Al-Muntafiq untuk menemui Nabi Saw. Nuhaik bertanya: Adakah kebaikan di antara sebagian kami yang hidup di zaman Jahiliyah? Nabi Saw bersabda: Ayahmu, Al-Muntafiq, berada di dalam neraka. Nuhaik berkata: Aku merasakan kulit wajah dan dagingku benar-benar terpisah ketika aku mendengar beliau berkata tentang ayahku di hadapan banyak orang. Aku ingin berkata: Bagaimana dengan ayahmu sendiri, Ya Rasul?, tetapi aku merasa lebih pantas untuk mengatakan yang lain: Bagaimana tentang keluargamu, Ya Rasul? Nabi Saw menjawab: Jika engkau melihat makam orang kafir, katakanlah: Muhammad mengutusku untuk mengatakan kepadamu tentang api neraka.
Nah, ini semakin memperjelas bahwa kalimat terakhir pada hadits melalui jalur Hammad bin Salamah itu diragukan, karena banyak hadits lainnya dengan predikat shahih dengan nada yang sama, tidak mencantumkan seperti apa yang ada pada jalur Hammad. Dengan demikian, zhahir hadits tersebut mesti ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah atau ditakwil sehingga memiliki keselarasan dengan dalil-dalil yang lebih kuat.
c. Kritik Matan
Dari segi matan, maka ungkapan   ‏إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِkontradiksi dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan mutawatir. Selain bertentangan dengan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya (riwayat Ma’mar, Thabrani, al-Bazzar, Baihaqi, Ibnu Majah dan al-Hakim), hadits tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengisyaratkan kesucian nasab Rasulullah SAW yang insya Allah akan dipaparkan.
d. Komentar Imam Nawawi
Saat mensyarah hadits tersebut, Imam Nawawi berkata:
وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“Dan Nabi Saw: (Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka) ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
Keterangan:
Lalu kenapa Rasul juga mengatakan bahwa bapaknya berada di neraka?
Itulah wujud kebaikan hati Rasulullah SAW. Beliau tidak ingin si penanya sedih dan kecewa dengan jawabannya. Terlebih si penanya adalah orang pelosok, lemah iman, susah paham dan gampang kembali pada kemurtadan. Dikhawatirkan jika tidak diberitahu dengan kalimat yang demikian, ia akan keluar dari Islam. Karena terlalu sedih dan kecewa dengan agama barunya. Maka Rasul menyamarkan jawabannya yang kedua dengan mengatakan bapaknya juga masuk dalam neraka.
Inilah yang dimaksud dengan tawriyah (menampakkan kalam namun tidak sesuai dengan apa yang ada di hati). Agar jawaban menjadi kabur antara bapak kandung dengan bapak dalam artian paman. Sebab orang Arab menyebut paman (‘ammu) juga dengan bapak (abu). Itulah yang dimaksud Imam Nawawi dalam kalamnya:
هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“…ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
e. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah tersebut mengandung Ihtimal
Seandainya kata-kata “Ayahku dan ayahmu di dalam neraka” dianggap shahih, tapi tetaplah ia mengandung ihtimal, yakni bahwa lafadz Abi (ayahku) di situ bermakna ‘Amm (paman) dengan qarinah-qarinah yang ada. Karena sudah maklum dan terkenal dalam bahasa Arab penamaan paman dengan ayah. Yaitu ayah yang mengasuhnya.
Maka ayah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ayah asuh Rasulullah Saw yang tidak lain adalah pamannya, yaitu Abu Thalib. Sebab Abu Thalib juga hidup saat Rasul Saw diangkat menjadi Rasul dan beliau menolak permintaan Rasul Saw untuk bersyahadat.
Bahkan hal ini sudah masyhur di zaman Nabi Saw bahwa paman beliau Abu Thalib dipanggil Ab (ayah) Nabi Saw oleh orang-orang. Disebutkan dalam beberapa sirah Nabawiyyah:
كانوا يقولون له قل لابنك يرجع عن شتم آلهتنا وقال لهم أبو طالب مرة لما قالوا له أعطنا ابنك نقتله وخذ هذا الولد مكانه أعطيكم ابني تقتلونه وآخذ ابنكم أكفله لكم
“Orang-orang kafir berkata kepada Abu Thalib, “Katakan pada anakmu agar tidak lagi mencaci tuhan-tuhan kami.” Dan suatu hari Abu Thalib berkata pada mereka pada apa yang mereka katakan padanya, “Berikan anakmu pada kami agar kami membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai gantinya, maka (akankah) aku berikan anakku untuk kalian bunuh dan aku mengambil anak kalian untuk kupelihara.”
Bahkan sebagian mufassirin berkata dalam ayat:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-An’am: 74)
Bahwa yang dmaksud abihi (ayahnya) Nabi Ibrahim yang bernama Aazar adalah pamannya, bukan ayahnya.
Imam Mujahid berkata: ليس آزر أبا إبراهيم
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim As.” (Atsar ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hathim dengan sebagian jalan yang shahih)
Ibnu Al-Mundzir telah mentakhrij dengan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij tentang firman Allah Swt :
(وإذ قال إبراهيم لأبيه آزر)
Maka beliau berkomentar:
ليس آزر بابيه إنما هو إبراهيم بن تيرح أو تارح بن شاروخ بن ناحور بن فالخ
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, sesungguhnya dia adalah Ibrahim bin Tirah atau Tarih bin Syarukh bin Nakhur bin Falikh.”
Ibnu Abi Hatim mentakhrij dengan sanad yang shahih dari As-Sadi bahwa beliau ditanya, “(Apakah) ayah Nabi Ibrahim itu Azar?” Maka beliau menjawab, “Bukan tapi Tarih.”
Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzhi bahwasanya beliau berkata, “Terkadang paman dari jalur ayah atau jalur ibu disebut ayah.”
Imam Fakhru Ar-Razi berkata :
إن آزر لم يكن والد إبراهيم بل كان عمه
“Sesungguhnya Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, akan tetapi pamannya.”
Bukti lainnya:
Ibnu Abi Hatim mentakhrij hadits dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas ra beliau berkata:
قال ما زال إبراهيم يستغفر لأبيه حتى مات فلما مات تبين له أنه عدو لله فلم يستغفر له
“Nabi Ibrahim senantiasa beristighfar, memohon ampun untuk ayahnya hingga wafat, maka ketika ayahnya wafat, nyatalah baginya bahwa ayahnya adalah musuh Allah, sejak itu nabi Ibrahim tidak beristighfar untuknya lagi.”
Ibnu Al-Mundzir dalam kitab tafsirnya membawakan sebuah hadits dengan sanad yang shahih bahwa:
“Ketika orang-orang kafir mengumpulkan kayu bakar dan melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya dengan api yang membara, maka berucaplah Nabi Ibrahim, “Cukuplah Allah sebagai penolongku.” Dan Allah berfirman, “Wahai api jadilah sejuk dan keselamatan bagi Ibrahim.” Maka berkatalah paman Nabi Ibrahim, “Karenaku Ibrahim tidak terbakar.” Maka ketika itu Allah mengirim secercik api yang jatuh ke telapak kakinya dan membakarnya hingga tewas.
Keterangan:
Nabi Ibrahim dilarang Allah mengistighfari ayahnya. Kemudian beliau diuji Allah dengan peristiwa pembakarannya. Dan saat itu pula pamannya ikut terbakar.
Namun setelah perisiwa itu berlalu, dan Nabi Ibrahim berhijrah ke beberapa daerah hingga beliau meninggalkan istri dan anaknya di Makkah, beliau memohonkan ampun untuk orangtuanya, sebagaimana doa yang diabadikan dalam al-Quran surat Ibrahim: 41:
ربنا اغفر لي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب
“Wahai Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan bagi orang-orang mukmin di hari berdirinya hisab.”
 Di atas cukup jelas, bahwa beliau selalu mengistighfari ayahnya hingga beliau tahu ayahnya tersebut adalah musuh Allah dengan terbakarnya di hari ujian Nabi Ibrahim tersebut dengan pembakaran. Dan beliau pun berhenti mengistighfarinya.
Namun setelah itu kenapa beliau masih tetap mengistighfarinya sebagaimana ayat di atas ?
Jawabannya tidak ada lain bahwa yang dimaksud ayah dalam hadits di atas adalah paman Nabi Ibrahim dan telah dikuatkan dengan hadits shahih yang telah dibawakan Imam Ibnu Al-Mundziri dalam tafsirnya di atas.
Dan terbukti beliau masih mengistighfari ayah kandungnya Tarih setelah kejadian pembakaran tersebut.
Maka dengan qarinah-qarinah ini semakin jelas bahwa yang dimaksud ayahku dalam hadits Muslim tersebut adalah ayah asuh Nabi Muhammad Saw yaitu paman beliau Saw Abu Thalib bukan ayah kandunganya Abdullah.
B. Jawaban untuk dalil kedua
Hadits kedua yang menyatakan bahwa Nabi Saw tidak diizinkan untuk berdoa di makam ibunya, (meski hadits itu shahih), haruslah dijelaskan dengan benar. Kaidah Ushul menyatakan bahwa jika dalil yang kuat bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits tersebut harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menghilangkan pertentangan itu.
Ada banyak dalil yang menjelaskan bahwa Nabi Saw tidaklah lahir dari rahim seorang perempuan yang layak masuk neraka:
Ali bin Abu Thalib ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Aku lahir dari pernikahan dan tak pernah lahir dari perzinaan, dari Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan aku. Perzinaan dan menyentuh diriku sekalipun pada zaman Jahiliyah. (HR Baihaqi, Abu Nu’aim, Ibnu Katsir, Ibnu Sa’ad, Thabrani, Al-Haitsami, Al-Hakim, dan lain-lain).
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Kakek buyutku dan nenek buyutku tak pernah berkumpul kecuali dalam perkawinan yang sah. Allah senantiasa memeliharaku dari tulang sulbi yang baik ke alam rahim yang suci, dan garis itu tak pernah bercabang kecuali aku berada di dalam dua cabang yang terbaik. (Lihat: Tarikh (1:349) karya Ibnu Asyakir, Ad-Durul Mantsur (3: 294 dan 5::98) karya As-Suyuthi, dan Al-Wafa’ (Bagian Pertama, Bab 10) karya Ibnul Jauzi).
Hadits Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ مِنْ خَيْرِ قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا حَتَّى كُنْتُ مِنْ الْقَرْنِ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ
“Aku diutus dari sebaik-baik anak Adam, keturunan demi keturunan, hingga aku berada di dalam keturunan yang kemudian melahirkan aku.” (HR Imam Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَتَقَلُّبك فِي السَّاجِدِينَ
Artinya: dan bolak balikmu diantara hamba yg bersujud. (QS Asyu’ara: 219)
Imam Ibn Abbas ra berpendapat bahwa makna ayat di atas adalah turun temurunnya engkau di tubuh ayah ayahmu yang kesemuanya hamba yang bersujud. Taqallubaka ditafsirkan sebagai terbolak balikmu maksudnya di antara ayah ke ibu, ke putra, lalu ke istrinya, lalu ke putra, lalu ke istrinya, dan kesemuanya mereka adalah hamba hamba Nya yang bersujud, yaitu bukan musyrikin.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis… (QS. At-Taubah: 28).
Pada ayat tersebut Allah telah menjelaskan bahwa syirik seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir adalah najis (najasa). Namun, semua hadist yang telah ditunjukkan sebelumnya menegaskan kesucian tulang sulbi dan rahim yang mengandung jiwa Nabi sejak penciptaan hingga lahir. Oleh karena itu, kedua orangtua Nabi tidaklah mungkin orang kafir.
Lalu, bagaimana seharusnya hadist shahih tersebut dipahami?
Keterangan Imam Suyuthi dalam kitab At-Ta’zhim wal Minnah fi anna Abaway Rasulillah fil Jannah hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo:
“Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi SAW juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunasi, karena istighfar Nabi SAW akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh  karena ada sesuatu yang lain di luar kufur.” (At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo)
Keterangan Al-Allamah al-Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim pimpinan Tariqat Syadziliyah Asyirah Muhammadiyah di Mesir dalam kitab ‘Ismatun Nabi, hal.96 Cet. Rasa’il Asyirah:
“Bahwasanya istighfar adalah bagian dari penghapusan dosa, maka seseorang tidak akan berdosa selama dakwah Islam belum sampai kepadanya. Maka tidak perlulah Rasulullah SAW memintakan ampun untuk orang yang belum terhitung telah melakukan dosa dan Allah pun juga tak akan mengiqobnya sebagai dosa. Maka memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal yang sia-sia, dan bukanlah daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang sia-sia.
“Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya termasuk ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah SAW: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha:
في قوله : { ولسوف يعطيك ربك فترضى } قال : من رضا محمد صلى الله عليه وسلم ألا يدخل أحد من أهل بيته النار
“Dan dari keridhaan Muhammad, tidak ada satu pun dari ahlul bait beliau yang masuk ke dalam neraka.”
Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah SAW disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.
Keterangan Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Kifayatul 'Awam hal. 13, cetakan Dar Ihya al-Kutubil 'Arobiyah:
Jika anda sudah tahu bahwa Ahlul Fathroh (masa kevakuman atau kekosongan Nabi dan Rasul) itu termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka) berdasarkan pendapat ulama yang kuat, maka tahulah anda bahwa bahwa kedua orangtua Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang yang selamat juga (dari neraka). Karena, mereka berdua termasuk Ahlul Fathroh (termasuk juga kakek, buyut Nabi dan ke atasnya). Bahkan mereka berdua termasuk Ahlul Islam, karena Allah telah menghidupkan mereka berdua untuk Nabi Muhammad SAW sebagai pengagungan kepadanya. Kemudian berimanlah kedua orangtua Nabi itu kepadanya sesudah kebangkitannya menjadi rasul.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW memohon kepada Tuhan-Nya agar Dia menghidupkan kedua orangtuanya. Maka Allah pun menghidupkan kedua orangtua Nabi itu. Selanjutnya, keduanya beriman dengan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Allah mematikan keduanya kembali.
Berkata Suhaili: “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bisa saja Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan apa-apa yang Dia kehendaki dari sebab karunia-Nya dan memberi nikmat kepada Nabi-Nya dengan apa-apa yang dia kehendaki dari sebab kemuliaan-Nya.”
Tidak Ada Dalil dan Bukti yang Menunjukkan Bahwa Orangtua Nabi Musyrik
Kemusyrikan kedua orangtua Nabi Saw bukanlah kenyataan yang telah dapat dipastikan. Justru yang menjadi kemungkinan besar adalah bahwa mereka menganut Agama Suci (Hanifiyyah) leluhur mereka, Ibrahim As. Sekelompok orang Arab pun melakukan hal itu, misalnya, ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal dan sebagainya.
Hal lain yang tak bisa dibantah adalah kedua orangtua Nabi Saw wafat sebelum ia diangkat menjadi Nabi. Artinya, keduanya wafat pada masa fatrah, yakni masa sebelum kedatangan rasul. Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak sampai kepada mereka dakwah. Para imam mazhab Asy’ari dalam kalam, ushul, dan fiqh Syafi’i bersepakat menyatakan bahwa orang yang meninggal sebelum menerima dakwah, dia akan masuk surga.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث رَسُولًا
Artinya: Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS. Al-Isra: 15).
Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang wafat dalam (masa) fatrah akan berkata: Ya Tuhanku, tak ada kitab suci atau rasul yang sampai kepadaku. Dan dia membaca ayat:
وَلَوْلاَ أَنْ تُصِيْبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin." (QS. Al-Qashash: 47). (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan masa wafat kedua orangtua Nabi ini pun kita bisa simpulkan bahwa mereka tidak layak dituduh sebagai orang musyrik yang masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Selain itu, nama ayah Nabi, Abdullah (hamba Allah) dan nama ibu beliau, Aminah (wanita yang amanah) telah mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Allah Ta’ala.
Penutup
Jumhur ulama bersepakat untuk menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi Saw berada di dalam surga, dan bukan masuk ke dalam neraka sebagaimana yang getol didengungkan oleh kaum Salafi/Wahabi.
Cukuplah keterangan berikut ini sebagai peringatan bagi kita:
Telah berkata sebagian ulama: "Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin 'Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan". (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika kepada beliau dikatakan: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka”, maka berdirilah Rasulullah SAW dalam keadaan marah, kemudian berkata:
ما بال أ قوام يؤذونني فى قرابتي و من أذاني فقد أذى الله
Artinya:
"Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah".
Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| Aswaja Klaten - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes