Kaum Sufi

Kamis, 22 Agustus 20130 komentar

Sebagaimana yang disampaikan Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah,

Kaum Sufi,  Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka.



Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.



Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam) musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan “penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.


 

Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.



Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.

Sumber: “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta

Berikut catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athaillah.


*****awal kutipan *****


Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.

Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.

Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

***** akhir kutipan ******

Sufi adalah mereka yang menjalankan tasawuf dalam Islam.  Jalan menelusuri jalan (tharikat) yang telah dilalui oleh Rasulullah, dimulai dengan beliau berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas diri) di gua hira. Kemudian beliau menerima wahyuNya tentang perkara syariat , syarat untuk menjadi hamba Allah yang berisikan perintahNya dan laranganNya , kemudian setelah syarat dipenuhi/dijalankan maka dilakukanlah perjalanan diri melalui maqom-maqom hakikat hingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla,  hingga  menjadi muslim yang berakhlakul karimah , muslim yang Ihsan atau muslim yang berma’rifat, muslim yang menyaksikan Allah Azza wa Jalla.

Cara menaapai akhlakul karimah adalah dengan membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb (berma’rifat).  Para Ulama Sufi menyebutnya maqom musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”. Mereka juga telah mencapai kasyaf (mukasyafah), terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib.

Terhalang manusia melihat Rabb adalah karena dosa. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Manusia ketika di dunia tidak ada satupun yag luput dari dosa kecuali yang dikehendaki Allah. Mereka yang dikehendaki Allah itulah yang dapat melihat Rabb.

Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.


[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. 

(QS Shaad [38]:46-47)


Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Imam Al Qusyairi mengatakan bahwa, “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan, “Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan“.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.

Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya. Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”

Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| Aswaja Klaten - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes