Al-Hâfizh
adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak
hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, --terutama dalam
masalah akidah--, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut,
serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi
bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut
madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh
adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti
dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan
mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi
menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah,
sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap
kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm
Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam
risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang
diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip
oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min
‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:
“Hindarkanlah
olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya
dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan
diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari
sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini
tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih
kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah.
Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan,
dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan
konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin
walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan
mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan
dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa
ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria,
lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya,
menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak
lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap
kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap
para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang
ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap
kehormatan semacam ini!”.
Adapun
nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam
risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya
sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah
adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id
al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:
“Segala
puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi
diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku
di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh...
Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan
pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan
orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh...
Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan
semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan.
Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya
sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya
seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia
memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai
kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran
kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat
besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai
kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji
pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu
sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib
orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah
kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian
kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah
menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar,
saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan
berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri,
mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka
betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan,
yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia
akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang
yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan
(kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada
diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda
baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu
yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai
Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci
maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan
tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah
engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam
agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci
perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak
bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling
ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang
tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika
banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah
perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi
jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat,
seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas
bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi
Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk
Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap
kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka
dengan logika kita??
Hai
Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum
filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan
menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah
dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah
karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh
tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan
sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka
dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang
al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua
saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan
di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan
tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi
berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap
sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita
bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar
tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau
seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu
maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada
kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama
seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak
hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua
kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan
di akhirat.
Oh…
Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah
mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah)
dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut
adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan
bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan
lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang
ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan
tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak
lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah
akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang
berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang
serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka
dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun
sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau
tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi
pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai
Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan
syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan
engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang
saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya
membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang
akan engkau lecehkan?!
Sampai
kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak
lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai
kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai
kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu
sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak
pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri
dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh…
Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah
hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar,
atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah
sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya
bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah
engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?!
Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah
ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat
akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima
ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap
memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan
berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan.
Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku
sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika
penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya
sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu
terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah
orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara
para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang
tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku
sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan,
namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh
Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang
menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena
memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika
saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh
Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada
lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala
puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan
kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya
sekalian.
Posting Komentar