Di
sebuah desa, di dekat kota Thus tinggallah seorang hamba Allah yang
saleh. Imam Ghazali yang telah kembali ke kota Thus pun segera
mengunjunginya. Menyaksikan kedatangan Imam Ghazali, orang saleh yang
sedang menabur benih gandum di kebunnya tersebut, serta merta
menyambutnya. Salah seorang teman orang saleh itu bermaksud
menggantikannya menabur benih gandum sementara dia menemui Imam Ghazali,
namun orang saleh tersebut menolak permintaannya.
Dalam
hati, Imam Ghazali bertanya-tanya, mengapa ia tidak mau digantikan?
Beberapa waktu kemudian beliau pun menanyakan alasan orang saleh itu
tidak membiarkan temannya menggantikannya menabur benih gandum tersebut.
Orang saleh itu pun menjawab, “Aku selalu menabur benih gandum ini
dengan hati yang khusyuk dan lisan yang berdzikir kepada Allah.
Aku berharap agar setiap orang yang memanen gandum ini nantinya
memperoleh keberkahan. Karena itulah aku tidak menyerahkan benih ini
kepada seseorang yang akan menaburnya dengan hati yang tidak khusyuk dan
lisan yang tidak berdzikir kepada Allah.
Orang-orang
saleh terdahulu selalu menanamkan niat yang baik dalam setiap gerak dan
diam mereka. Karena itulah, kehidupan orang-orang saleh terdahulu
diliputi keberkahan. Lain halnya dengan kita yang hidup di zaman
sekarang. Saat ini, jangankan ketika menanam benih, dalam shalat pun
kita sering lupa dan tidak mengingat Allah. Yang teringat adalah dunia;
anak, pasangan hidup, pekerjaan, dan berbagai kegiatan duniawi yang
mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Alangkah indahnya jika kita dapat
mencontoh akhlak orang saleh dalam kisah di atas. Bagaimana kiranya jika
ketika menanak nasi, memasak di dapur, menyuapi anak, dan sejenisnya,
semua itu dilakukan sembari berdzikir kepada Allah….?
« Ta’riful Ahya Bifadhailil Ihya, Darul Fikr, Beirut, Juz.I, Hal.172
Posting Komentar