Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan
tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang
bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah
di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik
yang diperlukan untuk itu.
Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan
kepada Allah mesti menaklukkanhati manusia dan menguasainya sepenuhnya.
Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal
itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya,
mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah
dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai,
sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal,
bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya
sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai
sekedar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian
sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: “Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya.” Dan Nabi saw. Bersabda, “Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar.” Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: “Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawabnya, “Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”
Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: “Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya.” Dan Nabi saw. Bersabda, “Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar.” Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: “Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawabnya, “Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; “Ya
Allah, berilah aku kecintaan kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang
yang mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu.
Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi
orang-orang yang kehausan.” Hasan Basri seringkali berkata: “Orang yang
mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan
membencinya.”
Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa
didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang
menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita.
Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya
kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga
mencintai musk, dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga
dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni fakultas
persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh
hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan
ruhani. Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan
inderawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw.
ketika bersabda bhwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan
wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang
yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah
akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah
tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan
berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih,
anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta
terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka
berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.
Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat
mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh
mendahului kita – seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar – berkenaan
dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak
dahulu sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak
diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah.
Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang
anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu
atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka
akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika
seseorang tidak mencintaiNya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak
mengenaliNya. Karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw.,
karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada
orang-orang berilmu dan bartakwa adalah benar-benar kecintaan kepada
Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas
sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan
kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada
kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia
tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikanNya,
manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke
dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia
juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika
seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan
sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan
ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah,
manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai
sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan
karena kemasabodohan terhadapNya. Orang-orang bodoh tidak bisa
mencintaiNya, karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari
pengetahuan tentangNya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai
pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada
sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang
berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang
diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari
Allah. Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan
kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau
nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan
tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika
dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak
lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip
dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa
lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, meskipun kita tidak pernah
mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh
karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada Nabi Daud, “AbdiKu yang paling cinta kepadaKu
adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap
mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada
KetuhananKu.” Di dalam Injil tertulis: “Siapakah yang lebih kafir
daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan
surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku
untuk disembah?”
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah “persamaan” antara manusia
dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya
sendiri.” Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: “Hambaku mendekat
kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi
telinganya, matanya dan lidahnya.” Juga Allah berfirman kepada Musa as.:
“Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!” Musa menjawab: “Ya
Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?”
Allah berfirman: “Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya
berarti engkau telah mengunjungiKu.”
Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk
diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang
awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan
soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.
Meskipun demikian, “persamaan” yang maujud di antara manusia dan Allah
menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di
atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu
wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang
memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena “persamaan” yang
disyaratkan di dalam sabda Nabi: “Allah menciptakan manusia dalam
kemiripan dengan diriNya sendiri.”
Menampak Allah
Semua muslim mengaku percaya bahwa menampak Allah adalah puncak
kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi
bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka
yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami
saja, karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia
ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa
menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh
manusia.
Pertama sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri
yang ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulai dari
nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman
intelektual. Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun
masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu
jasmaniah. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan
catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan
makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia.
Misalnya, kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia
seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa
Allah adalah obyek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan
tentangNya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang
yang lain. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun,
seakan-akan merasa telah berada di surga “yang luasnya seluas langit dan
bumi”; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada
seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak
menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.
Tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada
nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam
melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada
kesenangan yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka.
Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air
ini, dan kesibukankita dengan ihwal inderawi, menciptakan suatu tirai
yang menghalangi kita dari menampak Allah, meskipun hal itu tidak
mencegah kita dari memperoleh beberapa pengethuan tentangNya. Karena
alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: “Engkau tidak
akan bisa melihatKu.”
Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Sebagaimana benih manusia
akan menjadi seorang manusia dan biji korma yang ditanam akan menjadi
pohon korma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan
menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan orang yang tak
pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah mengalami penampakan
itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu,
melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai dengan pengetahuan
mereka. Tuhan itu satu, tetapi Ia akan terlihat dalam banyak cara yang
berbeda, persis sebagaimana suatu obyek tercerminkan dalam berbagai cara
oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan yang lurus, ada
pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainny akabur. Sebuah cermin
mungkin telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat bentuk yang indah
sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin membawa sebuah hati yang
sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang bagi
orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah
menjadi sumber kesedihan. Seseorang yang di hatinya cinta terhadap Tuhan
telah mengungguli yang lain akan menghirup lebih banyak kebahagiaan
dari penglihatan ini dibanding orang yang di hatinya cinta itu tak
sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang sama memiliki
pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang cantik,
maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia
dalam menatapnya daripada orang yang tidak mencinta. Agar bisa menikmati
kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah
cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum ia
disucikan dari cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan dengan zuhud.
Ketika berada di dunia ini, keadaan manusia berkenaan dengan menampak
Allah adalah seperti seorang pencinta yang akan melihat wajah kasihya di
keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan
kalajengking yang terus menerus menyiksanya. Tetapi jika matahari terbit
dan menampakkan wajah sang kekasih dalam segenap keindahannya dan
binatang berbisa berhenti menyiksanya, maka kebahagiaan sang pencinta
akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar dari
keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia ini,
melihatNya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata: “Orang yang sibuk dengan
dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang
tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak.”
Yahya Ibnu Mu’adz meriwayatkan bahwa ia mengamati Bayazid Bistami
dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid berdiri
dan berkata: “O Tuhan! Beberapa hamba telah meminta dan mendapatkan
kemampuan untuk membuat mukjizat, berjalan di atas permukaan air,
terbang di udara, tapi bukan semua itu yang kuminta; beberapa yang lain
telah meminta dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula yang
kuminta.” Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia
bertanya: “Engkaulah yang di sanan itu Yahya?” Ia jawab: “Ya.” Ia
bertanya lagi: “Sejak kapan?” “Sudah sejak lama.” Kemudian Yahya
memintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya. “Akan
kuungkapkan”, jawab Bayazid, “apa-apa yang halal untuk diceritakan
kepadamu.” Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari
yang paling mulia hingga yang terenah. Ia mengangkatku ke atas ‘Arsy dan
KursiNya dan ketujuh langit. Kemudian Ia berkata: ‘Mintalah kepadaKu
apa saja yang kau ingini.’ Saya jawab: ‘Ya Allah! Tak kuingini sesuatu
pun selain Engkau.’ ‘Sesungguhnya,’ kataNya, ‘engkau adalah hambaKu.”
Pada kali lain Bayazid berkata: “Jika Allah akan memberikan padamu
keakraban dengan diriNya atau Ibrahim, kekuatan dalam doa Musa dan
keruhanian Isa, maka jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja,
karena Ia memiliki khazanah-khazanah yang bahkan melampaui semuanya
ini.” Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepadanya: “Selama tigapuluh
tahun aku telah berpuasa di siang hari dan bersembahyang di malam hari,
tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu
sebut-sebut itu.” Bayazid menjawab: “Kalaupun engkau berpuasa dan
bersembahyang selama tigaratus tahun, engkau tetap tak akan
mendapatinya.” “Kenapa?” tanya sang sahabat. “Karena,” kata Bayazid,
“perasaan mementingkan-diri-sendirimu telah menjadi tirai antara engkau
dan Allah.” “Jika demikian, katakan padaku cara penyembuhannya.” “Cara
itu takkan mungkin bisa kaulaksanakan.” Meskipun demikian ketika
sahabatnya itu memaksanya untuk mengungkapkannya, Bayazid berkata:
“Pergilah ke tukang cukur terdekat dan mintalah ia untuk mencukur
jenggotmu. Bukalah semua pakaianmu kecuali korset yang melingkari
pinggangmu. Ambillah sebuah kantong yang penuh dengan kenari, gantungkan
di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: ‘Setiap orang yang
memukul tengkukku akan mendapatkan buah kenari’. Kemudian dalam keadaan
seperti itu pergilah ke tempat para qadhi dan faqih.” “Astaga!” kata
temannya, “saya benar-benar tak bisa melakukannya. Berilah cara
penyembuhan yang lain.” “Itu tadi adalah pendahuluan yang harus dipenuhi
untuk penyembuhannya,” jawab Bayazid. “Tapi, sebagaimana telah saya
katakan padamu, engkau tak bisa disembuhkan.”
Alasan Bayazid untuk menunjukkan cara penyembuhan seperti itu adalah
kenyataan bahwa sahabatnya itu adalah seorang pengejar kedudukan dan
kehormatan yang ambisius. Ambisi dan kesombongan adalah
penyakit-penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti
itu. Allah berfirman kepada Isa: “Wahai Isa, jika Kulihat di hati para
hambaKu kecintaan yang murni terhadap diriKu yang tidak terkotori dengan
nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini atau
dunia yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu.” Juga
ketika orang-orang meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia,
ia menjawab: “Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya.”
Wali Rabi’ah pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. “Kecintaan kepada
Sang Pencipta,” katanya, “telah mencegahku dari mencintai mahluk.”
Ibrahim bin Adam dalam doanya berkata: “Ya Allah, di mataku surga itu
sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika dibandingkan dengan
kecintaan kepadaMu dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah
Kauanugerahkan kepadaku.”
Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di
akhirat tanpa mencintai Allah, sudah terlalu jauh tersesat, karena inti
kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah
sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang sudah lama didambakan
dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang banyaknya.
Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak memiliki
kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di dalamnya
kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah sebelumnya sangat kecil
sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di
masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah
sekarang.
Tetapi na’udzu billah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh
suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka
keadaan kehidupan akhirat akan saa sekali asing baginya. Dan apa-apa
yang akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.
Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia
pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika
membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya
dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk (minyak
wangi) ke hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah. Akhirnya
seseorang datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Ia
mendekatkan sampah ke hidung orang itu, maka orang itu segera sadar,
mendesah penuh kepuasan: “Wah, ini baru benar-benar wangi-wangian!”
Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati
kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu
akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan kebobrokannya.
Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan merupakan pengejawantahan
dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah
mengejarnya dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah dan
pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai
tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur’an: “Orang
yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia.” Dosa-dosa dan syahwat
langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini. Oleh karena
itu, al-Qur’an berkata: “Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi.”
Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah benar-benar memahami
kebenaran ini sebagai suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah
pepatah tradisional belaka. Pencerapan mereka yang amat jelas terhadap
kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan bahwa orang yang membawa
kebenaran itu adalah benar-benar seorang Nabi, sebagaimana yakinnya
seseorang yang telah mempelajari pengobatan ketika ia mendengarkan
omongan seorang dokter. Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak
membutuhkan dukungan berupa mukjizat-mukjizat, seperti mengubah sebatang
kayu menjadi seekor ular yang masih mungkin digoncangkan dengan
mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli
sihir.
Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah
Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing
mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia
miliki. Ujian pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang
mati, kerena tak ada seorang “teman” pun yang ketakutan ketika akan
bertemu dengan “teman”nya. Nabi saw. Berkata: “Siapa yang ingin melihat
Allah, Allah pun ingin melihatnya.” Memang benar bahwa seorang pencinta
Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia
menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan
rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.
Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan
kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa
yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari
tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia
tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan
bahwa ia tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata
pada seseorang: “Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau
kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: ‘Saya tidak
mencintaiNya,’ maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau
berkata: ‘Ya, saya mencintai Allah,’ padahal perbuatan-perbuatanmu
bertentangan dengan itu.”
Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus
tetap segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang
mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu
sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian,
memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak
menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan
kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu
dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.
Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur’an yang
merupakan firman Allah – dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang
benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua
adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk,
karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta
dan tulisan tangannya.
Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap ‘uzlah untuk
tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa
berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai
bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada ‘uzlah
seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud
a.s.: “Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang
yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari
imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya,
dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada
mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku
meninggalkannya sendiri.
Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati
manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah
seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam
hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan
sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah
pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah
memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: “Engkau
telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan
kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun
terendahkan.” Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan
kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat
dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak
mengetahuinya.
Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang
wali berkata: “Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah
malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu
telah menjadi suatu kesenangan bagiku.” Jika kecintaan kepada Allah
sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi
kebahagiaan beribadah.
Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang
yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang
tidak taat, sebagaimana kara al-Qur’an: “Mereka bersikap keras terhadap
orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya.” Nabi saw pernah
bertanya kepada Allah: “Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?” Dan
jawabannya pun datang: “Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu
sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam
pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada
sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana
seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun.”[]
Sumber: di sini
Posting Komentar