Pada dasarnya hukum Shalat Qabliyah dan
Ba’diyah Jum’at hukumnya Sunnat, baik mengerjakannya dua raka’at atau
empat raka’at agar lebih sempurna. Sedangkan pandangan sebagian kaum
Wahabi, bahwa Shalat Qabliyah Jum’at hukumnya bid’ah dan haram, jelas
keliru. Terdapat sekian banyak dalil bagi kesunnatan Shalat Qabliyah
Jum’at. Dalil-dalil tersebut dapat kita klasifikasi sebagai berikut:
Pertama, Dalil Umum
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
مُغَفَّلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ قَالَ فِي
الثَّالِثَةِ لِمَنْ يَشَاءُ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
وَالْمُرَادُ بِالْاَذَانَيْنِ اْلاَذَانُ وَاْلاِقَامَةُ بِاتِّفَاقِ
الْعُلَمَاءِ.
“Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu’anh, dari Nabi Shallahu’alaihi wasallam, bersabda: “Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan.” Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda pada ucapan ketiga: “Bagi yang menghendakinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menjadi dasar bagi
disunnahkannya Shalat Qabliyah apa saja atau secara umum, termasuk
shalat Jum’at. Sedangkan yang dimaksud dengan adzan dalam hadits di
atas, adalah antara adzan dan iqamah berdasarkan kesepakatan para ulama,
sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
(juz III, hal. 503). Dengan demikian, hadits di atas secara umum
memberikan kesimpulan, bahwa di antara setiap adzan dan iqamah terdapat
Shalat Qabliyah yang disunnahkan, termasuk shalat Jum’at.
Berkaitan dengan hadits Abdullah bin
Mughaffal di atas, sebagian kaum Wahabi menampakkan inkonsistenya dalam
memahami hadits-hadits Nabi Shallahu’alaihi wasallam. Di satu sisi, mereka menolak adanya bid’ah hasanah, berdasarkan keumuman hadits kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah adalah sesat). Padahal keumuman hadits ini, telah
dibatasi oleh sekitar 300 hadits dan atsar ulama Salaf yang shaleh. Di
sisi lain, kaum Wahabi menolak keumuman hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, yang berbunyi baina kulli adzanaini shalatun
(setiap di antara adzan dan iqamah, terdapat shalat sunnah yang
didirikan), dan mengecualikan shalat Jum’at dari keumuman hadits
tersebut. Padahal hadits tersebut tidak ada yang membatasi jangkauan
hukumnya. La haula wala quwwata illa billah.
Kedua, Dalil Khusus
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
( فَائِدَةٌ ) : لَمْ
يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا
حَدِيثًا ، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ … عَنْ
أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ
جَابِرِ قَالَ : جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ : أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ ؟ قَالَ : لَا ، قَالَ : فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا . قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي
الْمُنْتَقَى : قَوْلُهُ : قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمَا
سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا ، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ .
“Keterangan penting. Al-Imam al-Rafi’i tidak menyebutkan dasar hadits tentang shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Dasar yang paling shahih mengenai hal tersebut adalah hadits riwayat Ibnu Majah … dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abi Sufyan dari Jabir, yang berkata: “Sulaik al-Ghathafani datang ketika Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam sedang khutbah. Lalu Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah kamu sudah menunaikan shalat sebelum datang kemari?” Sulaik menjawab: “Tidak.” Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Shalatlah dua raka’at dan percepatlah.” Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah yang dinilai sesat oleh para ulama) berkata dalam kitab al-Muntaqa: “Sabda Nabi Shallahu’alaihi wasallam: “Sebelum datang kemari”, menjadi dalil bahwa kedua raka’at tersebut adalah shalat sunnah Qabliyah Jum’at, bukan shalat Tahiyyatal Masjid.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Talkhish al-Habir, juz II, hal. 74).
Hadits Sulaik al-Ghathafani di atas
menjadi dalil sunnahnya menunaikan shalat Qabliyah Jum’at. Mengomentari
hadits tersebut, kaum yang menolak kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at,
yaitu Ibnu al-Qayyim berkata dalam kitabnya Zadul-Ma’ad (juz I, hal.
543), bahwa terjadi kekeliruan dalam catatan sebagian perawi Sunan Ibnu Majah. Redaksi yang tertulis qabla an taji’a yang menjadi dasar hukum shalat Qabliyah Jum’at, seharusnya tertulis qabla an tajlisa
(sebelum kamu duduk), sehingga menurutnya hadits tersebut mengarah pada
disunnahkannya shalat Tahiyyatal Masjid, bukan shalat Qabliyah Jum’at.
Tentu saja kekeliruan yang didakwakan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut tidak
pernah terjadi. Dalam beberapa naskah Sunan Ibnu Majah yang otentik,
hadits tersebut memang tertulis dengan redaksi qabla antaji’a, bukan qabla antajlisa.
Disamping itu, riwayat Ibnu Majah tersebut diperkuat oleh riwayat Abu
Ya’la al-Maushili dalam Musnad-nya (juz III, hal. 449), dan riwayat Ibnu
Hibban dalam Shahih-nya (juz VI, hal. 246). Demikian ini sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafizh Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin dalam diskursusnya
Sunnah al-Jum’ah al-Qabliyyah (hal. 37).
Dalil lain yang memperkuat dalil di atas, adalah hadits Nubaisyah al-Hudzali. Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Muntaqa:
بَابُ التَّنَفُّلِ قَبْلَ
الْجُمْعَةِ مَا لَمْ يَخْرُجِ اْلإِمَامُ وَأَنَّ انْقِطَاعَهُ
بِخُرُوْجِهِ إِلاَّ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ. عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ
أَقْبَلَ إِلىَ الْمَسْجِدِ لاَ يُؤْذِيْ أَحَدًا فَإِنْ لَمْ يَجِدِ
اْلإِمَامَ خَرَجَ صَلىَّ مَا بَدَا لَهُ وَإِنْ وَجَدَ اْلإِمَامَ قَدْ
خَرَجَ جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ حَتَّى يَقْضِيَ اْلإِمَامُ
جُمْعَتَهُ وَكَلاَمَهُ إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِيْ جُمْعَتِهِ تِلْكَ
ذُنُوْبُهُ كُلُّهَا أَنْ تَكُوْنَ كَفَّارَةً لِلْجُمْعَةِ الَّتِيْ
تَلِيْهَا ). رواه أحمد.
“Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyat al-masjid. Dari Nubaisyah al-Hudzali Radiyallahu’anh, Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang Muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke Masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia tidak mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at dan khuthbahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.” (HR. Ahmad).
Dalam hadits di atas diterangkan tentang
keutamaan seseorang yang menunaikan shalat sunnah Jum’at sebelum imam
keluar atau datang ke Masjid. Tentu saja, shalat tersebut adalah shalat
Qabliyah Jum’at. Al-Imam al-Syaukani, menguraikan dalam kitabnya Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar (juz
III, hal 314), sekian banyak dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at,
dan mematahkan argumentasi kelompok yang menganggapnya tidak sunnah.
Ketiga, Dalil Qiyas
Di antara dalil kesunnahan shalat
Qabliyah Jum’at adalah dalil qiyas (analogi), yaitu diqiyaskan dengan
shalat Dhuhur, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503). Dalam konteks yang sama, al-Imam al-Bukhari berkata dalam Shahih-nya:
بَاب الصَّلَاةِ بَعْدَ
الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا … عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ
رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ. (صَحِيْحُ الْبُخَارِيُّ).
“Bab ini menjelaskan shalat sunnah Ba’diyah dan Qabliyah Jum’at. … Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam selalu menunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum Dhuhur dan sesudahnya.” (HR. al-Bukhari [937]).
Dalam kutipan di atas, al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya
menulis bab khusus tentang kesunnahan shalat Qabliyah dan Ba’diyah
Jum’at. Kemudian beliau menjelaskan dasar hukumnya, yaitu hadits Ibnu
Umar bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam menunaikan shalat
sunnah dua raka’at sebelum dan sesudah shalat dhuhur. Dalam hal ini,
jelas sekali bahwa al-Imam al-Bukhari mengqiyaskan shalat Jum’at dengan
shalat dhuhur, dalam hal sunnah Qabliyah dan Ba’diyahnya. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh para ulama yang menulis kitab-kitab syarh (komentar) Shahih al-Bukhari, antara al-Hafizh Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Taudhih li-Syarh al-Jami’ al-Shahih (juz VII, hal. 634); al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (juz III, hal 235); al-Imam al-Qasthalani dalam Irsyad al-Sari (juz II, hal 193) dan lain-lain.
Beberapa ulama salaf dan ahli hadits
juga menulis tentang kesunnahan Qabliyah Jum’at, antara lain al-Imam
Abdurrazzaq al-Shan’ani dalam al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf, al-Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan-nya dan lain-lain. Oleh
karena itu, sangat menggelitik, apabila sebagian kaum Wahabi yang anti
adzan dua kali dan anti shalat Qabliyah Jum’at, membid’ahkan dan
mengharamkan shalat Qabliyah Jum’at, dengan alasan konsisten dengan
hadits Nabi Shallahu’alaihi wasallam. Bukankah ahli hadits
kenamaan seperti al-Bukhari, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, al-Tirmidzi
dan lain-lain menganjurkan shalat Qabliyah Jum’at?
Keempat, Atsar Ulama Salaf
Selain dalil-dalil di atas, juga
terdapat atsar beberapa sahabat yang menunaikan shalat sunnah Qabliyah
Jum’at, mereka antara lain 1) Abdullah bin Mas’ud dalam riwayat Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf , 2) Shafiyyah binti Huyay dalam riwayat al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah (hal. 143), dan lain-lain.
Di sisi lain, para ulama terdahulu yang
tidak mensunnahkan Shalat Qabliyah Jum’at, tidak menganggapnya bid’ah
apalagi haram. Mereka masih sebatas membolehkan dan menganggapnya baik.
Hal ini sebagaimana penegasan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa
juz 24 hal. 193-194. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Shalat Qabliyah
Jum’at tidak termasuk sunnah rawatib, tetapi mengerjakannya boleh dan
bagus (jaizatun hasanatun). Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan Wahabi yang justru membid’ahkan dan mengharamkannya.
Kesimpulannya, Shalat Qabliyyah Jum’at
hukumnya sunnah menurut pendapat yang kuat berdasarkan hadits-hadits
shahih, dalil qiyas dan amaliah para ulama salaf. Sedangkan pendapat
mereka yang tidak menganggapnya sebagai sunnah rawatib, masih
menganggapnya boleh dan baik mengerjakannya. Wallahu a’lam.
Sumber: di sini
Posting Komentar