Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
“Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia
jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk
memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang
dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan
jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak
ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri
sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia
(khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan
kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Berikut catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athaillah.
*****awal kutipan *****
Syekh Abu al-Abbas ra. mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang didiami para ahli shuffah. Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah
pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya
sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka
mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri
karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat
qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada
apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
***** akhir kutipan ******
Firman Allah Ta’ala yang artinya:
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia)
kepada negeri akhirat. dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik”. (QS Shaad
[38]:46-47)
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan para sufi atau al-awliya
(para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah
(pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang sufi (wali)
telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi
tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada
seorang sufi (wali) sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna
al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan
kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh
diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah
(cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada para sufi (para
wali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa para sufi (para wali)
dan orang-orang beriman lainnya bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat
keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka
berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari
kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para sufi (para
wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan
derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai
dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para sufi / para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para sufi / para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4
hijriyah dalam Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf atau versi
terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf,
penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta berkata
***** awal kutipan *****
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan
mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan
cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan
berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman”
tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia;
melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam)
musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan
“penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka
untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada
mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang
dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang
dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup,
kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan
menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam
karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas
berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang
dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak
ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab
pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya;
perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.”
***** akhir kutipan *****
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada
putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada
hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya
kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai
anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran
tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa
Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang
rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia
yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak
keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat)
tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar“
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya)
,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i,
hal. 47]
Salah satu pelopor tasawuf dari kalangan Tabi’in , Al Hasan al-Basri
ra (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M), berkata: ”Barangsiapa yang
memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah
Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai
tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka”.
Al Habib Luthfi ketika ditanya apa pandangan-pandangan beliau tentang tasawuf. Beliau menjelaskan sebagaimana yang termuat pada http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?Itemid=18&catid=34:berita&id=133:pengamalan-tasawuf-ala-al-habib-luthfi&lang=ar&option=com_content&view=article.
***** awal kutipan *****
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana
membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan
kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah
merupakan bagian dari tasawuf.
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf.
Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf.
Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka
menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan
kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan
tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu
kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah
tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul
karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap
kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya,
bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab
kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah
kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener
menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat
kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa
anak-anak kita.
***** akhir kutipan *****
Begitupula ketika Al Habib Luthfi ditanyakan apa yang sebenarnya
menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf,
beliau menjawab
***** awal kutipan *****
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk,
apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati.
Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika
hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi
hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga
kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena
karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan,
sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi.
Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
***** akhir kutipan *****
Agama Islam terdiri dari tiga pokok yakni:
Tentang Islam diuraikan dalam ilmu fiqih
Tentang Iman diuraikan dalam akidah atau i’tiqod atau ushuluddin
Tentang Ihsan diuraikan dalam tasawuf atau akhlak
Tentang Iman diuraikan dalam akidah atau i’tiqod atau ushuluddin
Tentang Ihsan diuraikan dalam tasawuf atau akhlak
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia
berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah
iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada
para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman
kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya
lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya
(bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Tasawuf adalah cara atau jalan untuk mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi
oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan
hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari
perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga
terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah
mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia
berada, "Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol
ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun
kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau
muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya,
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat
melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang
harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak
baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus
benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar
mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari
rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka
sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia
kehendaki.
Para ulama tasawuf mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain
nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap
fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam
kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab,
dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan,
karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa
bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang
lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan
hatinya (ain bashiroh).
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada
Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari
Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan
terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri,
sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan
menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan
adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati
sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala, "Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan
buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak
dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah muslim
yang dekat dengan Allah atau muslim yang telah meraih maqom (derajat) di
sisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia)
kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada
Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih
Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang
mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah
keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal
tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah
mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini
sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada
Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan
secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka
adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat
untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah,
yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari
hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang
dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata,
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi
hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah)
dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka
dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki
peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada
martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada
Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun,
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna
tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka
pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan
menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada
saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain
Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali
Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya
sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan
bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’
pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan
mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan
karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka
cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada
manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula
syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam
mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami
menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena
Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka
itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak
susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ”
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus
[10]:62)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu
ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada
seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan
pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin
itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang
bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan
memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka –
untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu
perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka
jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum
Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka
adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di
hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang
kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling
baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan
tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak
tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar
dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan
jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya
sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah,
Ibn Hanbal)”.
Para Wali Allah (kekasih Allah) , jika melihat mereka mengingatkan kita kepada Allah
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya
hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka
selalu mengingatiKu dan Akupun mengingat mereka.” (Hadis riwayat Abu
Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6)
Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda:
“Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan
kita kepada Allah.”(Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’
dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6)
Imam Al-Bazzaar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia mengatakan,
seseorang bertanya, ya Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, siapa para
wali Allah itu? Beliau menjawab, “Orang-orang yang jika mereka dilihat,
mengingatkan kepada Allah,” (Tafsir Ibnu Katsir III/83).
Para Wali Allah (kekasih Allah) selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka
ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di
saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat
Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Hurairah,
berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika
manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka
ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai
mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian
sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi
untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal
karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan
mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka
menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat
beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan
mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis karena
rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa
penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan
siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka,
sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan
mendapati siksa yang berat”. (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al
Hilya)
Para Wali Allah (kekasih Allah) suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku:
“Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka
tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah,
tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat
siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan
petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan
dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke
bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi
perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang.
Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak
bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian
sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka
suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka
dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada
sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka
di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi
hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy.
Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya
memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka.
Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat
tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya:
“Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada
hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim
dalam Hilya jilid I, hal 16)
Para wali Allah jika mereka meminta akan dikabulkanNya
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina
orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al
Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika Barra’
memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu,
berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi
kemenangan. Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku
mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan
NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai
syahid.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia
bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”. Lalu
seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap
pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh
selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar. “Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar
lagi. “Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas. Umar masih penasaran
lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar
uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi
tidak hilang). “Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit
“belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan.
Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di
dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada
Tuhanku”. “Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat
mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh
keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak
memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang
bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah
sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat
pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian
menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun
menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan
perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali
Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan Uwais ra adalah seorang
wali Allah di antara Tabi’in
Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i:
“Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama
Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka
dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui
tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai
mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya
dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka.
Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan,
mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di
dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal
595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah penerus setelah khataman
Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah
mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah)
dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai
Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan
Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga
mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan
memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan
RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya
saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda:
Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi
karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Beliau adalah Imam para Wali Allah
Sebagaimana yang dialami oleh Sayyidina Ali ra (imam para wali Allah), para Wali Allah memang pada umumnya terkena fitnah.
Rasulullah bersabda :
اِنَّ ِللهِ ضَنَائِنَ مِنْ عِبَادِهِ يُعْذِيْهِمْ فِى رَحْمَتِهِ
وَيُحْيِيْهِمْ فِى عَافِيَتِهِ اِذَا تَوَافَّاهُمْ تَوَافاَّهُمْ اِلَى
جَنَّتِهِ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ تَمُرُّ عَلَيْهِمُ الْفِتَنُ كَقَطْعِ
اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ وَهُوَ مِنْهَا فِى عَافِيَةٍ
Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat (sehat yang sempurna). Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya. (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6)
Posting Komentar