Bid'ah Hasanah Puji-pujian Sebelum Shalat

Sabtu, 17 Agustus 20130 komentar

Pada dasarnya, membaca pujian di Masjid atau di Mushalla menjelang shalat bukanlah tradisi Muslim Indonesia, akan tetapi tradisi umat Islam berbagai belahan dunia sebelum datangnya aliran Wahabi. Berikut ini akan kami paparkan melalui kronologi kesejarahan.


1. Pembacaan Tasbih Pada Waktu Sahur

Dalam kitab-kitab sejarah diterangkan, bahwa pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Maslamah bin Makhlad radhiyallahu ‘anhu, Gubernur yang diangkat oleh Muawiyah, melakukan i’tikaf pada malam hari di Masjid Jami’ Amr bin al-‘Ash di Mesir. Lalu ia mendengar suara gong atau lonceng gereja-gereja Koptik yang sangat keras. Ia mengadukan hal tersebut kepada Syurahbil bin Amir, Kepala para muadzin di Masjid tersebut. Kemudian Maslamah memerintahkan para muadzin mengumandangkan pembacaan tasbih pada waktu pertengahan malam (nishful-lail, atau sekitar jam 12 malam ke atas) di tempat-tempat adzan, sampai menjelang waktu shubuh. Kemudian tradisi pembacaan tasbih tersebuh berlangsung di berbagai negeri Islam. (Syaikh Abdul Aziz  al-Tsa’alibi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, hal. 140). Tanpa ada seorang pun ulama yang menganggapnya bid’ah tercela atau haram.


2. Pembacaan Akidah Ahlussunnah


Sebelum Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir, selama dua ratus tahun lebih Mesir dan sekitarnya dikuasai oleh Dinasti Fathimi yang beraliran Syiah Isma’iliyah. Dinasti Fathimi menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah melalui mesin kekuasaan. Setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir, maka seluruh daerah Mesir dan Syam, yang meliputi Syria, Lebanon dan Palestina, berada di bawah kekuasaanya, setelah mengusir pasukan Salibis Kristen dari Baitul Maqdis di Palestina. Untuk memberantas ajaran Syiah Ismailiyah yang dianut oleh banyak penduduk Mesir dan Syam, Sultan Shalahuddin memerintahkan para muadzin untuk membacakan kitab al-‘Aqidah al-Mursyidah, sebuah nazham yang ditulis oleh Ibnu Hibatillah al-Makki, isinya tentang Akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sesuai dengan madzhab al-Asy’ari. Dengan membacakan kitab tersebut setiap malam, Sultan Shalahuddin berhasil memberantas ajaran Syiah dan menyebarkan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. (Syaikh Abdul Aziz  al-Tsa’alibi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, hal. 140). Tradisi ini kemudian diikuti oleh umat Islam di Indonesia, dengan membacakan kitab nazham ‘Aqidah al-‘Awam karya Sayyid al-Marzuqi setiap menjelang waktu shalat maktubah.


3. Pembacaan Shalawat Menjelang Shalat Maktubah

Pembacaan shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang shalat maktubah lima waktu berlangsung sejak masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan atas instruksi beliau. Hal ini beliau lakukan, karena sebelum itu, ketika Khalifah  al-Hakim bin al-‘Aziz, penguasa dinasti Fathimi di Mesir yang beraliran Syiah Ismailiyah, terbunuh, saudarinya yang bernama Sittul Malik, memerintahkan para muadzin agar mengucapkan salam kepada putra al-Hakim, yaitu Khalifah al-Zhahir dengan mengucapkan as-Salam ‘ala al-Imam al-Zhahir (salam sejahtera kepada Imam al-Zhahir). Kemudian ucapan salam tersebut terus dilakukan kepada para khalifah Fathimi sesudahnya dari generasi ke generasi, hingga akhirnya Sultan Shalahuddin al-Ayyubi membatalkannya, dan menggantinya dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama menganggap kebijakan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tersebut sebagai kebijakan yang bagus dan layak didoakan agar diberi balasan pahala oleh Allah subhanahu wata’ala. (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’ fi al-Shalat ‘ala al-Habib al-Syafi’, hal. 279-280; al-Imam Ibnu ‘Allan al-Shiddiqi, al-Futuhat al-Rabbaniyyah juz 2 hal. 113).

Pandangan Para Ulama

Para ulama memandang tradisi pujian menjelang shalat di atas sebagai tradisi yang baik dan termasuk bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Al-Hafizh as-Sakhawi berkata:

وَقَدِ اخْتُلِفَ فِيْ ذَلِكَ هَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ بِدْعَةٌ أَوْ مَشْرُوْعٌ وَأسْتُدِلَّ لِلأَوَّلِ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ : وَافْعَلُوا الْخَيْرَ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الصَّلاَةَ وَالسَّلاَمَ مِنْ أَجَلِّ الْقُرَبِ لاَ سِيَّمَا وَقَدْ تَوَارَدَتْ اْلأَخْبَارُ عَلىَ الْحَثِّ عَلىَ ذَلِكَ مَعَ مَا جَاءَ فِي فَضْلِ الدُّعَاءِ عَقِبَ اْلأَذَانِ وَالثُّلُثِ اْلأَخِيْرِ مِنَ اللَّيْلِ وَقُرْبِ الْفَجْرِ وَالصَّوَابُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ بِحُسْنِ نِيَّتِهِ. (الحافظ السخاوي، القول البديع في الصلاة على الحبيب الشفيع، 280).
“Pembacaan shalawat menjelang shalat tersebut diperselisihkan, apakah dihukumi sunnah, makruh, bid’ah atau disyari’atkan? Pendapat yang pertama berdalil dengan firman Allah: “Kerjakanlah semua kebaikan.” Telah dimaklumi bahwa membaca shalawat dan salam termasuk ibadah sunnah yang paling agung, lebih-lebih telah datang sekian banyak hadits yang mendorong hal tersebut, serta hadits yang datang tentang keutamaan berdoa setelah adzan, sepertiga malam dan menjelang fajar. Pendapat yang benar adalah, bahwa hal tersebut bid’ah hasanah, yang pelakunya diberi pahala dengan niatnya yang baik.” (Al-Hafizh as-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’, hal. 280).


Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, al-Durr al-Mandhud, hal. 209, dengan mengutip fatwa gurunya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, yang menyimpulkan bahwa dzikir bersama dan membaca shalawat menjelang shalat maktubah adalah bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala. Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Ibnu Qayyimil Jauziyah, ulama panutan kaum Wahabi yang berkata, dalam kitabnya Jala’ al-Afham, bahwa di antara tempat yang dianjurkan membaca shalawat, adalah ketika berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, berdasarkan hadits berikut:

لِحَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ أَنَّ للهِ سَيَّارَةً مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِذَا مَرُّوْا بِحِلَقِ الذِّكْرِ قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ اُقْعُدُوْا فَإِذَا دَعَا الْقَوْمُ اَمَّنُوْا عَلىَ دُعَائِهِمْ فَإِذَا صَلَّوْا عَلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَفْرَغُوْا ثُمَّ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ طُوْبَى لِهَؤُلاَءِ يَرْجِعُوْنَ مَغْفُوْرًا لَهُمْ
“Karena hadits Abu Hurairah radhiayallahu ‘anh, bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang selalu berjalan. Apabila mereka menjumpai majlis dzikir, sebagian mereka berkata: “Duduklah”. Apabila kaum itu berdoa, para malaikat itu membaca amin atas doa mereka. Apabila mereka bershalawat, merekapun bershalawat bersama mereka sampai selesai. Kemudian mereka berkata: “Beruntung kaum itu, pulang dengan memperoleh ampunan Allah.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Jala’ al-Afham, hal. 237)

Hadits tersebut bernilai hasan, diriwayatkan oleh al-Bazzar. Asal hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya [2689], sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim. Lihat pula, as-Sakhawi, dalam al-Qaul al-Badi’, hal. 180 dan 348.

Beberapa pernyataan ulama di atas memberikan kesimpulan bahwa tradisi pujian pada waktu menjelang subuh, dan setelah adzan shalat maktubah, pada dasarnya tradisi positif, bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Bukan perbuatan haram dan bid’ah tercela yang mendatangkan dosa. Bahkan memiliki dasar hadits yang sangat kuat. Wallahu a’lam.

Muhammad Idrus Ramli
Sumber: di sini
Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| Aswaja Klaten - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes