Meluruskan Propaganda "Pengikut Ahli Hadits" Kaum Wahabi Tanpa Sanad

Minggu, 18 Agustus 20130 komentar

Assalamu’alaikum wr wb Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang kami hormati. Dewasa ini kami sering mendengar satu kelompok, yang sering membid’ah-bid’ahkan dan mensyirikkan mayoritas umat Islam yang menggelar Maulid, Tahlilan, Ziarah Wali Songo dan lain-lain. Anehnya mereka mengklaim sebagai pengikut ahli hadits dan madzhab Rasulullah SAW. Sedangkan kami oleh mereka, dianggap sebagai pengikut ahli bid’ah. Sebenarnya bagaimana madzhab ahli hadits itu? Benarkan mereka memang pengikut ahli hadits? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Saudara penanya yang terhormat, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda dan kita semua, amin ya Robbal ‘alamin. Perlu Anda ketahui, bahwa di antara propaganda yang sering digunakan oleh kaum Salafi-Wahabi untuk membenarkan posisi mereka sebagai satu-satunya golongan yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah klaim mereka sebagai satu-satunya representasi ahli hadits. Sementara selain mereka, dianggap sebagai ahli bid’ah dan bukan pengikut ahli hadits. Dengan propaganda semacam ini mereka sangat mudah dalam mengelabui dan mempengaruhi kalangan awam yang tidak mengerti fakta dan realita ahli hadits. Oleh karena itu pertanyaan Anda sangat penting untuk kami uraikan di sini.
Pada dasarnya, ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran mereka, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menulis data 87 nama-nama perawi hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim yang terindikasi atau terbukti mengikuti faham Murjiah, Nashibi, Syiah, Qadariyah dan Khawarij, (Lihat: al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, hlm. 178).
Di antara mereka ada juga yang mengikuti akidah sayap ekstrim madzhab Hanbali (ghulat al-hanabilah) yang disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diklaim sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dari sini, klaim kaum Wahabi bahwa mereka pengikut ahli hadits, menimbulkan pertanyaan, “Ahli hadits yang mana yang mereka ikuti?”
Hanya saja, apabila kita menelusuri literatur sejarah dengan cermat dan mendalam, maka akan didapati suatu fakta, bahwa dalam bidang akidah, mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Dalam konteks ini, al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ الْقَدَرِيَّةِ …. وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيْعَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلىَ مَذْهَبِهِ.
“Pada generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin berbagai daerah dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan kaum Qadariyah … Buku-bukunya telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya”. (Al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309-310).
Selanjutnya al-Imam Tajuddin al-Subki  juga berkata:
وَهُوَ يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.
“Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”. (Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.)
Di antara ahli hadits yang sangat populer mengikuti madzhab al-Asy’ari adalah Ibnu Hibban, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Abu Dzar al-Harawi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi, Abu Thahir al-Silafi, al-Sam’ani, Ibnu ‘Asakir, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, Abu Amr al-Dani, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Jamrah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Dimyathi, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, al-Qathalani, al-Ubbi, Ali al-Qari dan lain-lain. Kesimpulannya, mayoritas ahli hadits dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari.
Sementara dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits seperti kitab Tadzkirah al-Huffazh karya al-Dzahabi, Thabaqat al-Huffazh karya al-Suyuthi dan lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80 % ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi al-Hanafi, seorang ahli hadits dan pakar fiqih berkebangsaan India, memberikan kesaksian tentang keistimewaan madzhab Syafi’i dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih yang lain ditinjau dari tiga hal:
  1. Ditinjau dari aspek sumber daya manusia, madzhab Syafi’i adalah madzhab terbesar dalam memproduksi mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab, madzhab terbanyak memiliki pakar ushul fiqih, teologi, tafsir dan syarih (komentator) hadits.
  2. Ditinjau dari segi materi keilmuan, madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling kokoh dari segi sanad dan periwayatan, paling kuat dalam menjaga keotentikan teks-teks perkataan imamnya, paling bagus dalam membedakan antara perkataan Imam Syafi’i (aqwal al-Imam) dengan pandangan murid-muridnya (wujuh al-ashhab), paling kreatif dalam menghukumi kuat dan tidaknya sebagian pendapat dengan pendapat yang lain dalam madzhab. Demikian ini akan dimaklumi oleh seseorang yang meneliti dan mengkaji berbagai madzhab.
  3. Ditinjau dari segi referensi, hadits-hadits dan atsar yang menjadi sumber materi fiqih madzhab Syafi’i telah terkodifikasi dan tertangani dengan baik. Hal ini belum pernah terjadi kepada madzhab fiqih yang lain. Di antara materi madzhab Syafi’i adalah al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Muslim, karya-karya Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi, al-Nasa’i, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Baghawi.
Selanjutnya al-Imam al-Dahlawi  mengakhiri kesaksiannya dengan berkata:
وَإِنَّ عِلْمَ الْحَدِيْثِ وَقَدْ أَبَى أَنْ يُنَاصِحَ لِمَنْ لَمْ يَتَطَفَّلْ عَلىَ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ رضي الله عنهم وَكُنْ طُفَيْلِيَّهُمْ عَلىَ أَدَبٍ، فَلاَ أَرىَ شَافِعًا سِوىَ اْلأَدَبِ.
“Sesungguhnya ilmu hadits benar-benar enggan memberi dengan tulus kepada orang yang tidak membenalu kepada Imam Syafi’i dan murid-muridnya radhiyallahu ‘anhum. Jadilah kamu benalu kepada mereka dengan beretika, karena aku tidak melihat penolong selain etika”. (Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Sabab al-Ikhtilaf, hal. 38-39.)
Kesaksian al-Dahlawi di atas, bahwa madzhab Syafi’i merupakan perintis dan pemimpin umat Islam dalam ilmu hadits, sangat penting, mengingat otoritas keilmuan al-Dahlawi sebagai seorang pakar hadits dan fiqih yang bermadzhab Hanafi yang diakui oleh seluruh ulama, dan beliau bukan pengikut madzhab Syafi’i. Seandainya yang berkata, seorang pengikut madzhab al-Syafii, mungkin orang lain akan berkata, bahwa beliau sedang memuji madzhabnya sendiri. Kesaksian tersebut diperkuat dengan fakta sejarah bahwa pada masa silam, istilah ahli hadits identik dengan para ulama madzhab Syafi’i. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Sakhawi  berkata:
قَالَ النَّوَوِيُّ رحمه الله، وَنَاهِيْكَ بِهِ دِيَانَةً وَوَرَعًا وَعِلْمًا، فِيْ زَوَائِدِ الرَّوْضَةِ مِنْ بَابِ الْوَقْفِ: وَالْمُرَادُ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ الْفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةُ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ الْفُقَهَاءُ الْحَنَفِيَّةُ اهـ وَمَا أَحَقَّهُمْ بِالْوَصْفِ بِذَلِكَ.
“Imam al-Nawawi rahimahullah berkata –betapa hebatnya beliau dalam segi keagamaan, kewara’an dan keilmuan-, dalam Zawaid al-Raudhah, pada bagian bab waqaf: “Yang dimaksud engan ahli hadits adalah fuqaha Syafi’iyah, sedangkan ahl al-ra’yi adalah fuqaha Hanafiyah”. Alangkah berhaknya mereka dikatakan demikian”.[1]
Di antara ahli hadits yang mengikuti madzhab Syafi’i adalah al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isma’ili, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Baihaqi, al-Silafi, Ibnu Asakir, al-Sam’ani, Ibnu al-Najjar, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, al-Dimyathi, al-Mizzi, al-Dzhahabi, Ibnu Katsir, al-Subki, Ibnu Sayyidinnas, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa ahli hadits tidak memiliki paradigma tertentu yang menyatukan pemikiran mereka dalam satu madzhab, baik dalam bidang fiqih maupun akidah. Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih maupun akidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan bahwa mayoritas ahli hadits dalam hal akidah mengikuti madzhab Asy’ari, dan dalam hal fiqih mengikuti madzhab Syafi’i. Sehingga tidak heran apabila dalam perjalanan sejarah, ahli hadits identik dengan madzhab Syafi’i.
Dari sini sebagian ulama terkemudian memberikan kesimpulan yang cukup praktis bahwa al-firqah al-najiyah atau Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah golongan mayoritas umat Islam yang mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat dan mengikuti akidah madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sedangkan pengakuan kaum Salafi-Wahabi bahwa merekalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits, masih perlu dikaji secara ilmiah dan obyektif. Mengingat mayoritas ahli hadits justru berbeda dengan mereka. Wallahu a’lam.
[1] Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibn Hajar, juz 1, hal. 79.
Sumber: www.idrusramli.com
Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| Aswaja Klaten - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes