WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”
SUNNI: “Setahu saya, Imam
al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam
perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”
WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah
diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang
makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an
tidak sampai kepada mayit?”
SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang
Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu
maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya
tidak perlu dibesar-besarkan. “
WAHABI: “Kenapa begitu?”
SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan
suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum
makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan
mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu
tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi
juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena
itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh
itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan
dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”
WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”
SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”
WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”
SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat
memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa
yang diikuti oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “
WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara
kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab
al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini
diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara
gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan
begini;
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ
عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه
وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ
الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي
الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ
عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا
أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ،
وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ:
أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن
مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar
dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah
SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru
saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata:
“Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku
akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal
meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat
mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at
sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya
melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku
melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga
memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan
shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang
melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih
al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan
tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan
kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah
mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-’adah ‘adawah
(meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”
WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”
SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba
Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar
mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah
hadits yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا
بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ
لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah
kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna
pada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi
Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru
meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak
merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya
baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada,
lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja,
yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah
haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi
masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah
jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”
WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”
SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati?
Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya:
Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh
keluarga si mati untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini
ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara
lain sebagai berikut ini:
Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat
agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin
Mani’ meriwayatkan:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله
عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ
مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ
رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ
ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا
مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ
النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ
بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول
اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ
أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا
مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم
فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata:
“Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali
orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan
beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi
imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi
manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang,
sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi
makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib
datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu
kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan
dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu
Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk
dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan
dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-’Aliyah, juz 5
hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah,
juz 3 hal. 289.
Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada
keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ
لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا
أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ
فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا
فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ
اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ
الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang
dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul
untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan
orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau
kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian
dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian
Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan
menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian
makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah
tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi
makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh
dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang
dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian,
tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak
generasi sahabat Nabi SAW.
Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah
makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati.
Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab
al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ
فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ
عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati
akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum
salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd,
al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh
Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
al-Mathalib al-’Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam
al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara
mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut
diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab
dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh
Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus
tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian
al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota
Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh
Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa
hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz
(boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani
berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ
كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ
الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi
Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini
mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi
dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-’Allam Syarh
Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi
makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan
ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan
Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan
untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus,
justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung
di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih
diperselisihkan di kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus
memerangi suguhan makanan dalam acara tujuh hari, justru Anda yang
melanggar hukum agama.”
WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”
SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru
al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh
mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama. Akan tetapi
hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”
WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”
SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau
hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an
menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab
Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala
selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan
tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil
yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat
tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca
al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya bacaan
al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”
WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”
SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang
Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa
dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam
Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang
kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama
Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru
(Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12
masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat.
Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan,
dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”
WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari
Khalifah Umar, tentang suguhan makanan oleh keluarganya kepada para
pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”
SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan
pengikut Wahabi seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad
bin Hanbal:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن
والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في
فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat
itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits
Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong
Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”
WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”
SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:
لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak
perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk
mengikuti ajaran Wahabi yang Anda ikuti.”
Wallahu a’lam.
Sumber: di sini
Posting Komentar