Berdiri Menghadap Kiblat

Jumat, 23 Agustus 20130 komentar

Shalat diawali dengan berdiri menghadap kiblat bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu bisa dengan cara duduk atau tidur miring. Sabda Nabi SAW:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
 "Dari Imran bin Hushain ra ia bercerita, "Pada saat aku terkena penyakit ambien, aku bertanya kepda Nabi SAW tentang caraku mengerjakan shalat." Maka Nabi SAW bersabda, "Shalatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu meka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring." (Shahih al-Bukhari, juz 1, hal. 376 [1066]). 

Hukum berdiri dalam shalat fardhu adalah wajib, sedangkan pada shalat sunnah hukumnya adalah sunnah. Dalam hadits:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
"Dari Imran bin Hushain ia bercerita, "Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat yang dilakukan oleh seseorang sembari duduk. Nabi SAW menjawab, "Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling utama. Sedangkan shalat sambil duduk pahalanya setengah pahala shalat berdiri. Dan shalat sambil tidur itu pahalanya setengah dari shalat sambil duduk." (Shahih al-Bukhari, juz 1, hal. 375 [1064]). 

Ketika berada di atas kendaraan, misalnya di dalam perahu, bis, pesawat terbang atau lainnya, dan tidak mungkin untuk berdiri, maka boleh shalat sambil duduk..

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فِي السَّفِيْنَةِ؟ قَالَ: صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرْقَ 

Dari Ibnu Umar ia berkata, "Nabi SAW ditanya, bagaimana cara aku shalat diperahu?" Beliau menjawab, "Shalatlah dengan cara berdiri kecuali jika kamu takut tenggelam." (Sanad hadits ini shahih sesuai syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Al-Mustadrak ala al-Shahihaini, juz 1, hal. 409 [1019], Sunan al-Baihaqi Kubro, juz 3, hal. 155 [5277], termasuk hadits hasan).

Tata cara berdiri adalah kedua kaki diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan kira-kira sejengkal, dan kedua tumitnya kira-kira empat jari. Wajah ditundukkan mengarah ke arah tempat sujud. Kemudian membaca surat al-Nas sebagai permohonan agar dijauhkan dari godaan setan. Di dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menjelaskan:

 فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ قَائِمًا مُزَاوِجًا بَيْنَ قَدَمَيْكَ لاَ تَضُمُّهُمَا وَاسْتَوِ قَائِمًا وَاقْرَأْ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ تَحَصُّنًا بِهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

"Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdirilah dengan tegak kemudian membaca surat al-Nas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan setan yang terkutuk." (Bidayatul Hidayah, 45).

Syekh Nawawi menambahkan:

 أَمَّا الرَّأْسُ فَالْأَفْضَلُ إِطْرَاقُهُ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ لِلْخُشُوْعِ وَأَغَضُّ لِلْبَصَرِ

"Paling utama kepala ditundukkan, karena posisi itu dapat memudahkan untuk khusyu' serta lebih menjaga pandangan." (Maraqi al-Ubudiyyah: 45).

Setelah itu disunnahkan melafalkan niat. Tujuannya adalah membantu niat di dalam hati. Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarh Safinah al-Najah menjelaskan: 

 اَلنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ، فَلاَ يَجِبُ اَلنُّطْقُ بِهَا بِاللِّسَانِ لَكِنْ يُسَنُّ لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ

"Niat itu di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafalkan niat." (Kasyifah al-Saja, 52).

Dalam beberapa kesempatan, Nabi SAW pernah melafalkan niat, misalnya dalam ibadah haji. Dijelaskan dalam hadits:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

"Dari sahabat Anas ra berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan "Saya penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji." (Shahih Muslim, juz 2, hal. 905 [185]).

Konteks hadits di atas berbicara dalam persoalan haji. Akan tetapi shalat dapat di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnat melafalkan niat, maka di salam shalat juga demikian, dianjurkan mengucapkan ushalli.

Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Syekh Hasan bin Ali Assaqqaf sebagai berikut:


"Melafalkan niat ketika akan takbiratul ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi SAW bersabda, "Seluruh perbuatan tergantung niat", Nabi SAW tidak pernah bersabda, "Keraskanlan (lafalkanlah) niatmu." Oleh karena itu, orang yang hanya menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan maka shalatnya sah. Begitu pula jika ia mengucapkannya dengan bibirnya, shalatnya juga sah dan ia telah melaksanakan suatu perbuatan sunnah. Hal ini berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan perbuatan itu bid'ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafalkan niat itu bid'ah padahal di dalam beberapa ibadah yang lain Nabi SAW juga melakukannya. Misalnya ketika beliau memperdengarkan kepada orang banyak pada saat melaksanakan ihram untuk haji. Yakbi ucapan Nabi SAW, "Labbaika bi'umratin wa hajjin". Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi SAW menemui Sayyidah Aisyah ra untuk sarapan pagi. Nabi SAW bertanya, "Apakah ada makanan?" Aisyah ra menjawab, "Tidak ada." Nabi SAW kemudian mengucapkan, "Kalau begitu aku akan berpuasa." (Shahih Muslim [2771], Shahih Sifati Shalat al-Nabi, 68).


Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| Aswaja Klaten - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes