Umat Islam pada umumnya dirundung duka dengan silih bergantinya para ulama
Indonesia yang wafat belakangan ini, terakhir ini adalah wafatnya Habib
Munzir Al-Musawa.
Namun dengan wafatnya Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa atau lebih
dikenal dengan Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa lahir di
Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973 pimpinan
Majelis Rasulullah, majelis dzikir terbesar di Indonesia ini ada
sebagian dari kelompok sempalan islam yang bersuka cita, tidak lain
adalah salafi wahabi dimana selama ini sangat membenci beliau semasa
hidupnya.
Dalam Kitab Tanqih Al-Qaul Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman
bin Abu Bakar As-Suyuthi menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sbb:
وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات
”Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik”
Menagislah karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama.
Menagislah karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama.
عن ابن عباس ، في قوله تعالى : أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ
نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا سورة الرعد آية 41 قال : موت علمائها .
وللبيهقي من حديث معروف بن خربوذ ، عن أبي جعفر ، أنه قال : موت عالم أحب
إلى إبليس من موت سبعين عابدا .
Dari Ibnu Abbas ra. tentang firman Allah, “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?.” (Al-Ra’d: 41). Beliau mengatakan tentang (مِنْ أَطْرَافِهَا = dari tepi-tepinya) adalah wafatnya para ulama. Dan menurut Imam Baihaqi dari hadits Ma’ruf bin Kharbudz dari Abu Ja’far ra berkata, “Kematian ulama lebih dicintai iblis daripada kematian 70 orang ahli Ibadah.”
Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah
penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah yang berbunyi:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا
وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi
daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi
sedikit) dari tepi-tepinya?.” (Al-Ra’d: 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya).Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan ulama sebagai
penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah.
Rasulullah bersabda:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ ,
وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam.
Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu
orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam
Syu’ab al-Iman dari Abu Darda')
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama
para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa
ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah,
mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat,
maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ " ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ
الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ
يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
Artinya: “Ambillah (Pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat
bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perginya ilmu
adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”
(HR Ad-Darimi, At-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah).
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya
pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat
menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadits sahih.
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض
العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير
علم فضلوا وأضلوا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi
mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak
menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh,
mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan
menyesatkan” (HR al-Bukhari No 100)
Kendatipun telah banyak kyai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya
kyai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita
adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin
Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib:
إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam
yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Ihya
Ulumiddin I/15). Wallahu a’lam bis-Shawab
Sumber: Status Al-Ustadz Ibnu Mas'ud Al-Menyani, MKub
Posting Komentar