Talqin sesungguhnya amalan yang telah berlangsung sejak lama dan
dilakukan oleh umat Islam di seantero dunia. Hanya akhir-akhir ini muncul fatwa
dari kaum Salafi-Wahabi yang menyatakan bahwa talqin adalah bid’ah, dan
orang yang melakukannya terancam siksa di dalam neraka.
Dalil yang Membid’ahkan
Kelompok anti talqin biasanya menggunakan firman Allah SWT berikut
ini sebagai dasar untuk membid’ahkan talqin:
Firman Allah SWT:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“…Dan kamu (Muhammad)
sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat
mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22).
Berdasarkan ayat ini, mereka mengatakan bahwa menalqin orang yang telah
dikubur adalah perbuatan sia-sia, karena ia tidak akan pernah bisa mendengar.
Selain itu, menurut mereka hadits yang dijadikan landasan menalqin orang yang
telah meninggal dunia adalah dhaif, sehingga tidak dapat
dijadikan hujjah. Dengan demikian, talqin adalah bid’ah
dan setiap pelakunya akan mendapat siksa di dalam neraka di akhirat kelak.[1]
Jawabannya
Menurut para ulama, talqin itu terbagi dua. Pertama, talqin
yang dilakukan kepada seseorang yang sedang mengalami naza’ atau sakarat
al-mawt. Kedua, talqin yang dilaksanakan pada saat jenazah baru saja
selesai dimakamkan. Kedua talqin ini memiliki landasan syar’i di dalam
agama Islam.
Untuk talqin jenis pertama tidak perlu diuraikan di sini, karena
tidak ada seorang pun dari kalangan umat ini yang mengatakannya sebagai bid’ah.
Namun talqin jenis kedualah yang akhir-akhir ini begitu gencar dikatakan
sebagai perbuatan bid’ah dengan dalil-dalil sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Sesungguhnya talqin yang dilaksanakan ketika jenazah baru saja
dimakamkan bukanlah perbuatan bid’ah, melainkan sunnah. Penjelasan tentang
kesunnahan talqin ini telah disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar:
وَاَمَّا تَلْقِيْنُ
الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ وَكَثِيْرٌ مِنْ اَصْحَابِنَا
بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فِيْ
تَعْلِيْقِهِ وَصَاحِبُهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْمُتَوَلِّي فِي كِتَابِهِ
التَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ اْلإِمَامُ أَبُو الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ
الْمَقْدِسِيُّ وَاْلإِمَامُ أَبُو الْقَاسِمِ الرَّفِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ
وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنِ اْلأَصْحَابِ
“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi’iyah. Ulama yang mengatakan kesunnahan itu di antaranya adalah Qadhi Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat beliau yang bernama Abu Said al-Mutawalli dalam kitabnya Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari para sahabat.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah, 206).
Ketika para ulama memfatwakan sunnah menalqin mayit sesaat setelah
dikuburkan tentu saja mereka memiliki dalil yang menjadi landasannya. Hadits
yang bersumber dari Abu Umamah ra berikut inilah yang menjadi landasannya. Silakan
Anda simak dan semoga Allah memberikan kemudahan bagi Anda untuk memahaminya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمُ
التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ:
يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ، ثُمَّ يَقُوْلُ:
يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلاَنُ
بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ،
فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ
رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا،
فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ.
وَيَقُولُ: اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ.
فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ
إِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَا فُلاَنُ بْنُ
حَوَّاءَ
“Dari Abu Umamah ra, ia berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulan”. Orang yang berada dalam kubur itu pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, ketika itu juga mayit bangkit dan duduk di kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini). (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imammu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah ra berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah SAW menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada Ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR Thabrani).
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi’iyah, sebagian besar ulama Hanabilah,
dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa menalqini
mayit adalah mustahab (sunnah).
Hadits ini memang termasuk hadist dhaif (lemah), akan tetapi
ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk
menjelaskan mengenai fadlail al- a’mal dan anjuran untuk beramal,
selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shahih
dan hadits hasan lidzatih), dan juga tidak termasuk hadits yang matruk
(ditinggalkan). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.
Tentang hal ini Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani berkata:
وَالْحَدِيْثُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا يُعْمَلُ
بِهِ فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ خُصُوْصًا وَقَدْ انْدَرَجَ تَحْتَ أَصْلٍ كُلِّيٍّ
وَهُوَ نَفْعُ الْمُؤْمِنِ أَخَاهُ وَتَذْكِيْرُهُ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Sekalipun hadits (tentang talqin) tersebut merupakan hadits dhaif, namun dapat diamalkan dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits tersebut masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang Mukmin untuk membantu saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat bermanfaat bagi orang Mukmin.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 111).
Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shahih
seperti :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ
عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ
الْآنَ يُسْأَلُ
“Dari Utsman bin Affan, ia berkata, “Nabi SAW apabila telah selesai dari menguburkan mayit beliau berkata, “Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.” (HR Abu Dawud dan di-shahih-kan oleh Imam al-Hakim).
Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُوْنِيْ ، فَأَقِيْمُوْا حَوْلَ قَبرِيْ قَدْرَ مَا
تُنْحَرُ جَزُوْرٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا، حَتىَّ أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ ، وَأَعْلَمُ
مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّيْ
Dari Amr bin al-Ash ra, katanya, “Jika kalian telah memakamkan aku, maka berdirilah di sekitar kuburku sekedar selama waktu menyembelih seekor unta lalu dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku dapat merasa tenang (puas) bertemu dengan kalian dan aku dapat memikirkan apa-apa yang akan aku jawab kepada utusan-utusan Tuhanku. (HR Muslim).
Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar
yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan penalqin
dan merasa terhibur dengannya.
Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 55).
Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa
mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan penalqin,
maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu
tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan
malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan
tersebut. Jadi ucapan penalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk
peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang Mukmin.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan
firman Allah SWT yang menyatakan bahwa orang yang di dalam kubur tidak bisa
mendengar, seperti pada ayat berikut:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“…Dan kamu (Muhammad)
sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat
mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22).
Ayat ini memang sering disalahtafsirkan oleh kelompok anti talqin
dan mereka gunakan sebagai dalil untuk memfatwakan tidak berguna talqin yang
disampaikan pada orang yang telah dikubur karena mereka tidak dapat mendengar. Namun
pemahaman mereka itu tidak sejalan dengan tafsiran para mufassir. Orang
yang berada di dalam kubur (man fil al-qubuur) yang disebutkan dalam
ayat tersebut sesungguhnya adalah orang kafir. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam Tafsir al-Khazin:
يَعْنِى
الْكُفَّارَ شَبَّهَهُمْ بِاْلأَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لاَ يُجِيْبُوْنَ
إِذَا دُعُوْا
“Maksudnya adalah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah.” (Tafsir al-Khazin, Juz V, halaman 347).
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa orang Mukmin di dalam kuburnya dapat mendengar suara orang
yang menalqinnya atas izin dan kekuasaan Allah SWT. Kenyataan ini semakin kuat
tatkala kita melihat kebiasaan Nabi SAW yang selalu mengucapkan salam tatkala
berziarah kubur atau melewati kompleks pemakaman. Tentu saja Rasulullah SAW
mengucapkan salam karena ahli kubur dapat mendengar ucapan salam itu. Jika
tidak, tentulah perbuatan beliau itu akan sia-sia, dan adalah hal yang mustahil
Rasulullah SAW melakukan amalan yang sia-sia.
Kesimpulannya,
pelaksanaan talqin adalah suatu amalan yang sejalan dengan syariat
Islam, bahkan ia sunnah untuk dilakukan, baik saat seseorang sedang naza’ maupun
pada saat mayit baru saja dimakamkan. Vonis bid’ah terhadap talqin
tidaklah benar. Yang benar, talqin adalah sunnah, dan kita telah simak
bersama dalil-dalilnya.
Sumber: buku Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi
Sumber: buku Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi
[1]
Fatwa bid’ahnya talqin juga dikeluarkan oleh Syaikh Ibn Baz dan bisa Anda baca
dalam Fatawa Nur Ala Ad-Darb, 2.1102.
Posting Komentar